KABARINDO, JAKARTA - Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi mengungkap empat fakta penting yang diduga menjadi bukti kuat adanya penyalahgunaan kewenangan dan penghalangan penyidikan (obstruction of justice) oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan Zarof Ricar.
Koordinator Koalisi, Ronald Loblobly, menyatakan bahwa hingga kini, tidak pernah dilakukan penggeledahan terhadap rumah dan kantor pihak pemberi suap, meskipun sejak 26 Oktober 2024, Zarof Ricar telah mengaku menerima suap sebesar Rp 50 miliar dan Rp 20 miliar dari Ny. Purwati Lee, pemilik Sugar Group Companies. Pemanggilan terhadap Purwati Lee dan Direktur Utama PT Sweet Indolampung, Gunawan Yusuf, baru dilakukan enam bulan kemudian, pada 23 dan 24 April 2025.
Pengakuan suap tersebut kembali ditegaskan oleh Zarof Ricar dalam persidangan pada 7 Mei 2025. Dalam kasus ini, Zarof diduga berperan sebagai perantara hakim agung penerima suap dengan Sugar Group sebagai pihak yang ingin memenangkan perkara perdata melawan Marubeni Corporation di tingkat Kasasi dan PK.
“Alih-alih memerintahkan pendalaman penyidikan, Jampidsus Febrie Adriansyah justru menyampaikan dalih yang tidak logis kepada pers, bahwa penyidik tidak perlu memeriksa pihak yang disebutkan oleh tersangka. Ini merupakan indikasi pertama dari dugaan penyalahgunaan kewenangan,” ujar Ronald Loblobly usai diperiksa Inspektur Jamwas, didampingi sejumlah tokoh seperti Sugeng Teguh Santoso (Ketua IPW), Petrus Selestinus (TPDI), dan Carrel Ticualu (Peradi Pergerakan).
Empat Fakta Kunci
Ronald dan Sugeng membeberkan empat fakta yang dianggap menguatkan dugaan tersebut:
-
Penyimpangan Pasal
Meski ditemukan uang tunai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas, Zarof Ricar hanya dikenakan pasal gratifikasi, bukan suap. Ini dinilai sebagai strategi pengaburan hukum yang melanggar berbagai aturan etik dan hukum jaksa. -
Motif Perlindungan Pemberi Suap
Sugeng menyebut, dakwaan JPU memuat istilah seperti “pegawai negeri”, “jabatan”, dan “mempengaruhi hakim” yang semestinya mengarah ke pasal suap. Ia menilai, tindakan ini diduga dimaksudkan untuk melindungi pihak pemberi suap, termasuk Sugar Group Companies, dan menjaga posisi strategis hakim agung yang disebut menerima suap. -
Ketidaksesuaian Nilai Sitaan
Ronny Bara Pratama, anak Zarof, menyatakan dalam persidangan bahwa jumlah uang yang disita sebenarnya mencapai Rp 1,2 triliun. Namun, hanya Rp 915 miliar yang diumumkan. Ini menimbulkan tanda tanya besar: ke mana sisa Rp 285 miliar? -
Tidak Digunakannya Bukti Elektronik
Barang bukti elektronik yang ditemukan saat penggeledahan—termasuk ponsel, laptop, dan email milik Zarof serta keluarganya—tidak digunakan dalam dakwaan. Kejaksaan bahkan tidak pernah mengumumkan keberadaan alat bukti penting ini.
Permintaan Evaluasi kepada Presiden
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, menekankan bahwa upaya pemberantasan korupsi oleh Presiden Prabowo Subianto akan sulit berhasil jika dugaan penyalahgunaan wewenang dalam tubuh Kejaksaan Agung tidak segera ditindak.
“Febrie Adriansyah telah mengelabui publik dan kepala negara dengan menciptakan sensasi pemberantasan korupsi yang justru menyimpan banyak keganjilan dan manipulasi,” ujar Petrus.
Sebagai bentuk tanggung jawab sipil, pada Rabu, 28 Mei 2025, Koalisi akan menyerahkan Surat Terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara. Surat ini akan dilampirkan dengan buku berjudul "Memberantas Korupsi Sembari Korupsi"—sebuah kompilasi dugaan pelanggaran hukum dan etika dalam penyidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh Febrie Adriansyah.