Bali, Kabarindo– Seafood Savers, landasan business-to-business yang diinisiasi WWF-Indonesia untuk mengimplementasi upaya perbaikan perikanan di Indonesia, berhasil mendorong perbaikan kualitas perikanan petambak udang Indonesia untuk menembus pangsa pasar global setelah mendapatkan sertifikasi ekolabel perikanan berkelanjutan Aquaculture Stewardship Council (ASC).
Capaian ini juga membuktikan bahwa praktik budi daya Indonesia mampu menembus dan bersaing dengan industri budi daya yang intensif dalam memenuhi standar sertifikasi berkelanjutan yang diakui pasar global.
Hingga saat ini, anggota Seafood Savers terdiri dari sembilan perusahaan perikanan tangkap, enam perikanan budi daya dan dua buyer (wholesaler dan ritel).
Dalam periode tahun 2017-2018, dua perusahaan anggota Seafood Savers dari sektor budi daya berhasil mendapatkan sertifikasi ekolabel perikanan berkelanjutan Aquaculture Stewardship Council (ASC); dua tambak binaan PT Mustika Minanusa Aurora seluas 115 hektar untuk udang windu di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, dan 18 tambak udang vanamei seluas 9 hektar binaan PT Tiwandi Sempana yang merupakan penyuplai PT Bumi Menara Internusa di Probolinggo, Jawa Timur.
Hingga saat ini, PT Mustika Minanusa Aurora menargetkan untuk dapat menghasilkan sekitar 20 ton udang windu per tahunnya untuk memenuhi permintaan ekspor ke Jepang, sedangkan PT Bumi Menara Internusa menargetkan produksi udang vanamei sebesar 300 ton per tahunnya untuk pasar Amerika Serikat.
Dalam pertemuan tahunan Seafood Savers di Denpasar, Bali, Manager of Aquaculture and Fisheries Improvement Program WWF-Indonesia Abdullah Habibi mengatakan “WWF-Indonesia akan terus memastikan setiap langkah perbaikan dalam komoditas perikanan budi daya tersebut mengingat sertifikasi yang diraih berlaku hanya pada komoditas yang didaftarkan saja. Begitu pula dengan perbaikan perikanan tangkap, kami juga akan memastikan agar semua anggota Seafood Savers melakukan perbaikan yang diakui dan terdokumentasikan dalam fisheryprogress.org.”
Untuk pasar domestik, hasil survei WWF-Indonesia dan Nielsen tahun 2017 menunjukkan sebanyak 26% dari total responden mengetahui produk perikanan yang diproduksi secara ramah lingkungan, namun hanya 17% saja yang mengatakan pernah mengonsumsi produk perikanan yang diproduksi secara ramah lingkungan. “Dukungan pasar untuk memperluas implementasi praktik serupa oleh pelaku usaha lainnya menjadi salah satu tujuan utama Seafood Savers kedepannya. Peningkatan kesadaran konsumen yang signifikan terhadap konsumsi produk perikanan ramah lingkungan dapat mendorong kesiapan pasar domestik menyerap produk-produk yang diproduksi secara berkelanjutan,” tambah Abdullah Habibi.
Skema Seafood Savers juga mendorongkan pemenuhan aspek perbaikan lingkungan melalui kegiatan penanaman mangrove. Selain memenuhi standar sertifikasi, kegiatan ini secara langsung telah berkontribusi bagi perlindungan habitat kritis di sekitar lahan tambak perusahaan. Sejauh ini total luasan lahan sebagai bentuk kompensasi atas konversi lahan budi daya yang telah dihijaukan adalah 40.41 Ha yang lokasinya berada di Aceh, Tarakan, Probolinggo dan Makassar. Terkait aspek sosial, Seafood Savers juga mendampingi perusahaan dalam pengelolaan pekerja tambak, mitigasi sekaligus meminimalisir dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif dari aktivitas budi daya kepada masyarakat sekitar.
Pertemuan tahunan Seafood Savers ini sekaligus juga sebagai ajang untuk meningkatkan sinergi dan komitmen penuh terhadap keberlanjutan, serta memperkenalkan empat anggota baru, yaitu PT IAMBEU Mina Utama untuk komoditas ikan karang budi daya, PT. Mega Marine Pride untuk komoditas udang vannamei dan dua buyer (wholesaler dan ritel) yaitu Natura Seafood dan Fish n Blues untuk 15 – 17 komoditas seafood.