Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

-advertising-

Beranda > Iptek > Pentingnya Penguatan Regulasi untuk Transformasi Proses Penelitian Obat & Alat Kesehatan

Pentingnya Penguatan Regulasi untuk Transformasi Proses Penelitian Obat & Alat Kesehatan

Iptek | Minggu, 12 Februari 2023 | 18:44 WIB
Editor : Natalia Trijaji

BAGIKAN :
Pentingnya Penguatan Regulasi untuk Transformasi Proses Penelitian Obat & Alat Kesehatan

Pentingnya Penguatan Regulasi untuk Transformasi Proses Penelitian Obat & Alat Kesehatan

Surabaya, Kabarindo- IASMED, Asosiasi Untuk Studi Obat Indonesia, menyatakan perlunya penguatan regulasi untuk memastikan Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam ketersediaan obat yang berpotensi menyelamatkan pasien di Indonesia.

Saat ini berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA), hanya ada sekitar 9% obat-obatan inovatif yang beredar di Indonesia. Hal ini menempatkan Indonesia pada peringkat terendah di bawah Afrika Selatan jika dibandingkan dengan negara G20. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, peringkat Indonesia sama dengan Vietnam, namun tertinggal oleh Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura.

Salah satu penyebab kurangnya obat-obatan inovatif tersebut adalah karena kurang atau tidak adanya uji klinis skala global di Indonesia. Di lain pihak, berdasarkan kertas kebijakan yang diterbitkan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2018, kurangnya uji klinis tersebut berdampak pada terhambatnya pertumbuhan industri farmasi nasional. Padahal industri farmasi, termasuk yang terlibat dalam pembuatan vaksin, berpotensi untuk mencapai nilai sampai dengan 125,49 miliar dollar AS pada 2028, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Arthur D. Little, Firma Konsultan Manajemen.

dr. Grace Wangge Ph.D., perwakilan IASMED dan akademisi Monash University, Indonesia, menyatakan perlunya penguatan terutama terkait regulasi Menteri Kesehatan No. 85 tahun 2020. “Peraturan ini mengandung beberapa aspek yang menurut kami dapat disempurnakan agar proses tata kelola perizinan uji klinis lebih baik dan akuntabilitasnya terjaga. Beberapa pasal cukup berpotensi kontraproduktif, salah satunya adalah Pasal 31 ayat 2 dan Pasal 35 yang memperpanjang proses birokrasi dan administratif,” ujarnya pada Minggu (12/2/2023).

Penguatan regulasi ini diharapkan dapat mendukung cita-cita untuk terciptanya ekosistem riset obat, vaksin dan alat diagnostik yang mumpuni dan dalam jangka panjang akan mendukung kemandirian farmasi di Indonesia.

“Kami berharap penguatan regulasi ini dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan yang bersifat inovatif dan berpotensi untuk memperbaiki kondisi kesehatan mereka. Semakin banyaknya penelitian tersebut juga akan memberikan akses bagi para peneliti terhadap studi global yang mendorong pertukaran pemikiran dan peningkatan kapasitas, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik,” imbuh Grace.

Direktur Eksekutif IPMG, Inge Kusuma, menyarankan adanya solusi komprehensif untuk percepatan adopsi obat-obatan baru yang dapat menyelamatkan hidup pasien, meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, meningkatkan produktivitas yang berkaitan dengan penyakit serta menghemat devisa yang ditimbulkan dari orang Indonesia yang bepergian ke luar negeri untuk perawatan medis. Solusi ini antara lain melalui partisipasi Indonesia dalam uji klinis skala global, multi sentra yang memenuhi standar internasional.

Rekomendasi ini juga mendorong untuk memaksimalkan peran pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan untuk memberikan panduan pelaksanaan uji klinis terutama dalam pembuatan perjanjian dengan pihak ketiga, pengawasan dalam pelaksanaan perjanjian dan diseminasi hasil dari pengawasan tersebut. Hal ini akan memastikan bahwa uji klinis akan mendapatkan manfaat yang maksimal dan sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia serta standar internasional.

Di luar penguatan tersebut, pihak peneliti yang diwakili oleh dr. Nina Dwi Putri, Sp.A (K) mendorong adanya kolaborasi antar pemerintah, pihak industri farmasi, peneliti dan akademisi untuk memastikan iklim penelitian yang kondusif dan maju di Indonesia.

“Hal ini sangat diperlukan karena Indonesia sudah tertinggal kurang lebih 10 tahun dari negara tetangga kita di Asia Tenggara. Padahal di sisi lain, masyarakat kita membutuhkan akses obat yang inovatif untuk mengatasi permasalahan kesehatan modern yang kurang lebih sama,” ujarnya.


TAGS :
RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER