KABARINDO, JAKARTA - Turnamen bulu tangkis Japan Open 2025 di Tokyo Metropolitan Gymnasium, Jepang, 15–20 Juli, menjadi lebih dari sekadar turnamen elite yang masuk kalender BWF World Tour Super 750.
Ajang ini akan menjadi titik ukur penting sejauh mana kesiapan para pemain Merah Putih untuk kembali bersaing di level atas.
Bukan hanya menguji kemampuan teknis dan mental para pemain, turnamen ini juga bisa dikatakan sebagai babak baru dalam proses evaluasi menyeluruh terhadap pembinaan bulu tangkis nasional.
Setelah jeda lebih dari satu bulan sejak Super 1000 Indonesia Open 2025, para pemain kembali turun ke lapangan membawa harapan besar.
Asa untuk membawa pulang gelar. Harapan untuk membungkam kritik. Angan untuk mengangkat kembali nama Indonesia yang hingga pertengahan musim 2025 ini belum sekali pun naik podium tertinggi di turnamen level Super 500 ke atas.
Di Jepang Open 2025, ada 13 wakil Indonesia yang akan bersaing. Dari sektor tunggal putra, Jonatan Christie, Alwi Farhan, dan Anthony Sinisuka Ginting masuk daftar.
Untuk tunggal putri, ada Putri Kusuma Wardani dan Gregoria Mariska Tunjung. Ganda putra ada Sabar Karayaman Gutama/Moh. Reza Pahlevi Isfahani, Leo Rolly Carnando/Bagas Maulana, dan Fajar Alfian/Muhammad Shohibul Fikri yang untuk kali pertama berpasangan di turnamen internasional.
Lalu ganda putri yang berkompetisi adalah Febriana Dwipuji Kusuma/Amalia Cahaya Pratiwi dan Lanny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti.
Untuk ganda campuran, Indonensia punya Rehan Naufal Kusharjanto/Gloria Emanuelle Widjaja, Amri Syahnawi/Nita Violina Marwah, dan Jafar Hidayatullah/Felisha Alberta Nathaniel Pasaribu.
Tetapi kali ini perhatian utama tertuju pada dua nama yaitu Anthony Ginting dan Gregoria Mariska.
Comeback bawa harapan
Ginting kembali setelah enam bulan menepi karena cedera bahu. Gregoria pun tampil lagi setelah absen tiga bulan akibat vertigo.
Keduanya menyadari Japan Open 2025 bukan semata tempat mencari kemenangan, melainkan panggung penting untuk mengembalikan sentuhan permainan.
Namun, dengan segala tekanan yang ada, publik tetap menaruh ekspektasi. Ginting menyebut turnamen ini penting untuk menemukan kembali ritme dan feel pertandingan. Ia bahkan menjalani simulasi pertandingan untuk membangun atmosfer turnamen sebelum berangkat ke Jepang.
“Seminggu terakhir ini mulai terasa nervous-nya. Malam sebelum simulasi saja sudah seperti mau tanding sungguhan,” ujar Ginting, yang akan menghadapi Kodai Naraoka pada babak pertama.
Sementara itu, Gregoria mengakui sempat kesulitan dalam masa pemulihan karena vertigo membuat tubuhnya sangat sensitif, bahkan terhadap cahaya lampu dan layar gawai.
Kini ia merasa lebih siap, meski tetap menekankan pentingnya penyesuaian tensi dan tekanan di lapangan.
“Saya sadar harus menyesuaikan dulu. Tiga bulan tidak bertanding pasti berpengaruh,” katanya.
Di luar lapangan
Di luar lapangan, Japan Open juga menjadi panggung evaluasi bagi pelatnas. Hingga Juli ini, belum ada satu pun gelar dari Super 500 ke atas.
Prestasi terbaik hanya datang dari turnamen Super 300 Thailand Masters melalui ganda putri Lanny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti dan Taiwan Open lewat pasangan campuran Jafar Hidayatullah/Felisha Alberta Pasaribu.
Minimnya prestasi membuat induk organisasi tepok bulu mulai bergerak. Wakil Ketua Umum PP PBSI Taufik Hidayat sebelumnya menyampaikan secara terbuka bahwa para pelatih sudah diberikan cukup waktu untuk menunjukkan hasil. Jika tidak ada perubahan signifikan, sistem promosi dan degradasi akan diterapkan kembali.
“Sudah enam bulan lebih. Jangan hanya kejar ranking. Masyarakat inginnya juara. Juara itu cuma satu, tidak ada juara dua,” tegas Taufik.
Menurut Taufik, pelatih tidak bisa hanya fokus pada program latihan, tapi juga harus mampu membangun kedekatan dan komunikasi efektif dengan atlet. Hubungan pelatih dan atlet harus berjalan dua arah agar program bisa dijalankan secara maksimal.
“Pelatih jangan merasa nyaman terus. Semua ada targetnya, dan hasil itu penting. Kalau tidak memenuhi, kami buka rekam jejaknya. Kalau tidak ada prestasi, buat apa dipertahankan?” ujarnya.
PBSI pun disebut telah menyiapkan sistem peringatan bertingkat, mulai dari SP1 hingga SP3, sebagai bagian dari mekanisme pembinaan internal.
Tuntutan dan harapan
Maka Japan Open 2025 bukan hanya soal siapa juara, tetapi tentang siapa yang siap bertahan dan siapa yang pantas dipertahankan.
Evaluasi tidak lagi bersifat tertutup. Kritik dari dalam federasi sendiri sudah mulai terdengar terbuka, dan masyarakat pun makin lantang menyuarakan kekecewaan.
Setiap kekalahan kini tak hanya berdampak pada peringkat dunia, tetapi juga pada kredibilitas pembinaan nasional.
Apalagi dalam konteks menuju Kejuaraan Dunia 2025 di Paris, Agustus, hasil di Jepang dan Super 1000 China Open (pekan berikutnya) akan menjadi indikator utama untuk melihat kesiapan tim Merah Putih bersaing di panggung paling bergengsi.
Beban berat memang. Namun dari tekanan semacam inilah semangat baru bisa muncul. Japan Open 2025 bisa jadi titik balik. Bisa pula menjadi cermin sejauh mana program pembinaan PBSI berjalan efektif.
Jika hasilnya masih nihil, maka tidak cukup hanya dengan janji evaluasi. Perubahan harus nyata. Karena pada akhirnya, masyarakat tidak menonton ranking. Mereka menunggu satu hal, Indonesia kembali naik podium tertinggi.