Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi
Direktur
Lambang Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kini berubah. Bukan lagi bunga mawar merah, tapi seekor gajah. Sebuah perubahan yang sontak mengundang tawa, spekulasi, dan tentu saja: sinisme. Dalam tempo cepat, masyarakat yang kritis sekaligus jenaka mengubahnya menjadi akronim: “Ga Ada iJAsaH.” Sebuah plesetan yang menggoda, sekaligus menohok.
Mereka yang menyimak dinamika politik dengan kacamata satire menyebut bahwa ini adalah “jawaban visual” dari PSI terhadap polemik panjang yang menyeret kata ijazah ke dalam pusaran debat publik yang absurd. Polemik itu telah menjelma menjadi sinetron kejar tayang, dengan musim-musim tak berkesudahan dan plot twist yang lebih cocok untuk FTV daripada perdebatan konstitusional.
Tapi di balik semua tawa dan sindiran itu, saya—dengan berpikir sederhana—melihat ini sebagai rancangan jangka panjang yang ciamik dan cerdas. Gajah bukan hanya hewan besar yang kuat. Ia memiliki simbolisme universal: memori panjang, kesabaran, keteguhan, bahkan kesetiaan. Dalam banyak budaya, gajah adalah simbol kepemimpinan yang bijaksana, kekuatan yang tenang, dan langkah yang pasti.
Jika dilihat dari sudut pandang komunikasi politik, ini bisa dibaca sebagai pergeseran narasi PSI. Dari partai muda yang selama ini dianggap terlalu “urban”, “centil”, dan “berisik di medsos”, menjadi partai yang kini mencoba tampil lebih “berwibawa”, “mendalam”, dan “tak mudah diseret ke dalam arus kebisingan publik”. Gajah bukan hewan yang gampang terusik. Ia berjalan lambat, tapi menghentak tanah. Dan langkahnya selalu terdengar.
Bila ini disengaja, maka PSI sedang memainkan “seni peredaman sinisme dengan simbol.” Alih-alih menjelaskan panjang lebar, mereka menyodorkan lambang. Lalu membiarkan publik menafsirkan sesuka hati. Dan ketika muncul meme “Ga Ada Ijazah,” mereka justru tersenyum. Karena seperti kata para ahli komunikasi: kontrol terhadap narasi bukan berarti menghindari sindiran, melainkan mampu menggunakannya sebagai bahan bakar atensi.
Strategi ini seperti auto-meme: membiarkan simbol menjelma menjadi bahan guyonan, agar makin viral. Lalu diam-diam mengubah persepsi. Semacam taktik marketing modern: “Biarkan orang membicarakanmu, bahkan dengan tawa, asal kamu tidak hilang dari layar kesadaran mereka.”
Dan memang, dalam era algoritma dan impresi digital, popularitas tidak lagi tentang citra sempurna, tapi tentang kehadiran terus-menerus. Gajah hadir. Disukai atau dicibir, itu urusan lain. Yang penting: ia tetap di tengah panggung.
Jadi jika ini memang bagian dari strategi jangka panjang PSI untuk membangun ulang identitas partai dalam lanskap politik yang makin keras, maka itu patut dicatat. Mereka mungkin sedang berkata dalam diam:
“Tertawalah sepuasnya, karena gajah tetap akan berjalan, meski disoraki dari pinggir jalan.”
Dan barangkali, dalam keheningan itu, gajah menyimpan rencana. Bukan untuk menjawab soal ijazah, tapi untuk mengingat siapa yang tertawa hari ini dan siapa yang diam-diam berpikir: “Apakah mereka benar-benar sedang membalikkan permainan?”
Dan jangan lupa ada kisah tentang universitas yang sedang menjadi peran pembantu dalam sinetron berjilid-jilid “Ijazah Palsu” yang namanya Gajah Mada.
Iya ngga sih?