KABARINDO, JAKARTA - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tipideksus) Bareskrim Polri membuka nilai gaji yang diterima mantan Presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar.
Dalam jabatan tersebut, Ahyudin disebut mendapatkan upah senilai Rp400 juta. Sedangkan, Ibnu Khajar sebesar Rp150 juta.
"A Rp400 juta dan IK Rp150 juta," kata Wadir Tipideksus Bareskrim Polri Kombes Helfi Assegaf dalam jumpa pers, Senin (25/7/2022).
Sementara itu, untuk Pengurus ACT Hariyana Hermain digaji senilai Rp50 juta. Dan Sekretaris ACT periode 2009-2019 dan saat ini sebagai Ketua Dewan Pembina ACT Novariadi Imam Akbari, mendapatkan gaji sebesar Rp100 juta.
Ahyudin dan Ibnu Khajar telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penggelapan dana Boeing untuk ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610. Selain Ahyudin dan Ibnu Khajar, polisi juga menetapkan Pengurus ACT Hariyana Hermain dan Sekretaris ACT periode 2009-2019 dan saat ini sebagai Ketua Dewan Pembina ACT Novariadi Imam Akbari, sebagai tersangka.
Helfi menyebut, dari Rp138 miliar yang diterima ACT dari pihak Boeing, Rp34 miliar diantaranya digunakan tidak untuk peruntukannya. Dana tersebut digunakan ACT untuk pembangunan pesantren hingga koperasi syariah 212.
"Apa saja yang digunakan tidak sesuai peruntukan pengadaan armada rice truk, kurang lebih Rp2 miliar, untuk program big food bus Rp2,8 m, kemudian pembagunan pesantren peradaban Tasikmalaya Rp8,7 miliar, untuk koperasi syariah 212 kurang lebih Rp10 miliar, untuk dana talangan CV CUN Rp3 miliar, dana talangan sebuah PT MGBS Rp7,8 miliar. Total semua Rp34.573.069.200," papar Helfi.
Selain itu, Helfi mengungkapkan bahwa, ACT juga menyalahgunakan dana itu untuk menggaji para pengurus lembaga filantropi itu. "Kemudian, selain itu juga digunakan untuk gaji para pengurus. Ini sekarang sedang dilakukan rekapitulasi dan menjadi tindak lanjut kami yang tadi disampaikan yaitu akan dilakukan audit pada ini," ujar Helfi.
Terkait hal tersebut, Helfi mengungkapkan bahwa, pihaknya akan berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk kebutuhan penelusuran asset. "Selanjutnya, kita akan berkoordinasi dengan PPATK untuk selanjutnya melakukan tracing aset atas dana-dana tersebut," ucap Helfi.
Bareskrim mengusut dugaan penyalahgunaan dana bantuan kompensasi untuk korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018. Pasalnya, Boeing menunjuk ACT sebagai pengelola dana sosial. Semula, dana diperuntukkan untuk membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi para ahli waris korban.
Sebagai kompensasi tragedi kecelakaan, Boeing memberikan dua santunan, yakni uang tunai kepada para ahli waris masing-masing sebesar US$144.500 atau sebesar Rp2,06 miliar, dan bantuan non tunai dalam bentuk CSR.
Namun, dana yang diberikan diduga dikelola dengan tidak transparan dan menyimpang. Beberapa di antaranya, kata polisi, digunakan untuk kepentingan pribadi para petinggi organisasi filantropi itu.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 372 KUHP dan atau Pasal 374 KUHP dan atau Pasal 45A Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 70 Ayat (1) dan Ayat (2) jo.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan atau Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 KUHP jo. Pasal 56 KUHP.