KABARINDO, KABUL – Keputusan Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk menggunakan sebagian dari aset beku Afghanistan di AS yang totalnya sebesar lebih dari Rp100 miliar sebagai kompensasi kepada keluarga korban serangan 11 September 2001 telah memicu kemarahan warga Afghanistan dan dunia.
Para demonstran di Kabul, Sabtu (12/2) mengutuk keputusan Presiden Joe Biden itu dengan mengatakan uang itu adalah “uang rakyat” Afghanistan.
Mereka berkumpul di luar masjid Idul Fitri yang megah di ibukota Afghanistan, dan meminta kompensasi finansial kepada AS untuk puluhan ribu warga Afghanistan yang tewas selama 20 tahun terakhir perang di Afghanistan.
Presiden AS Joe Biden pada hari Jumat (11/2) menandatangani perintah eksekutif untuk membebaskan $7 miliar aset bank sentral Afghanistan yang disimpan di AS.
Di bawah perintah Biden, $3,5 miliar akan digunakan untuk bantuan kemanusiaan dan sisanya $3,5 miliar akan digunakan untuk ‘membayar’ keluarga korban 9/11.
Bantuan kemanusiaan itu akan disalurkan ke dana perwalian yang dikelola oleh PBB untuk membantu warga Afghanistan.
Kelaparan Massal
Ekonomi Afghanistan tertatih-tatih di ambang kehancuran setelah uang internasional berhenti masuk semenjak masuknya kekuasaan Taliban pada pertengahan Agustus.
Pada saat yang sama, Afghanistan berada dalam pergolakan kelaparan massal dengan hampir 24 juta orang (60% dari populasi negara itu) menderita kelaparan akut.
Kekeringan yang parah dan kekurangan pekerjaan yang menyebabkan semakin banyak orang yang tidak mampu membeli makanan merupakan dua faktor utama kelaparan di sana.
Artikel terkait: Tragedi Jual Anak Untuk Sesuap Nasi di Afghanistan
Legalitas Dipertanyakan
Torek Farhadi, seorang penasihat keuangan untuk mantan pemerintah Afghanistan yang didukung AS, mempertanyakan pengelolaan cadangan Bank Sentral Afghanistan oleh PBB dan legalitas instruksi Biden.
Dia mengatakan dana itu tidak dimaksudkan untuk bantuan kemanusiaan tetapi "untuk mendukung mata uang negara, membantu dalam kebijakan moneter dan mengelola neraca pembayaran negara".
"Cadangan ini milik rakyat Afghanistan, bukan Taliban [...] Keputusan Biden sepihak dan tidak sesuai dengan hukum internasional," kata Farhadi. "Tidak ada negara lain di Bumi yang membuat keputusan penyitaan seperti itu tentang cadangan negara lain."
Afghanistan memiliki sekitar Rp130 miliar aset di luar negeri, termasuk Rp101 miliar di AS. Sisanya terutama di Jerman, Uni Emirat Arab dan Swiss.
"Bagaimana dengan rakyat Afghanistan kita yang telah memberikan banyak pengorbanan dan ribuan korban jiwa?" tanya penyelenggara demonstrasi, Abdul Rahman, seorang aktivis masyarakat sipil. "Uang ini milik rakyat Afghanistan, bukan Amerika Serikat. Ini hak rakyat Afghanistan," katanya.
Dalam sebuah kiriman di Twitter Jumat malam, juru bicara politik Taliban Mohammad Naeem menuduh pemerintahan Biden menunjukkan "tingkat kemanusiaan terendah [...] dari sebuah negara dan bangsa".
Kemarahan di Seluruh Dunia
Perintah Biden hari Jumat itu menghasilkan badai media sosial dengan topik populer di Twitter #USA_stole_money_from_afghan (AS mencuri uang warga Afghan).
Beberapa analis juga turun ke Twitter untuk mempertanyakan perintah Biden.
Salah satunya adalah Michael Kugelman. Wakil direktur Program Asia di Wilson Center yang berbasis di AS itu mengatakan, "Sangat bagus bahwa $3,5 miliar dalam bantuan kemanusiaan baru untuk Afghanistan telah dibebaskan. Tetapi untuk mengambil $3,5 miliar lagi yang menjadi milik rakyat Afghanistan, dan mengalihkannya ke tempat lain - itu sesat dan sejujurnya tidak berperasaan."
Kugelman juga mengatakan oposisi terhadap perintah Biden melintasi kesenjangan politik yang luas di Afghanistan.
"Saya tidak ingat kapan terakhir kali begitu banyak orang dari pandangan dunia yang sangat berbeda begitu bersatu atas keputusan kebijakan AS di Afghanistan," tweetnya.
***(Sumber: AP, DW, Euronews; Foto: DPA)