Salemba, Jakarta, Kabarindo- Tentu saja, hal tersebut tidak sesuai dengan target RPJMN 2015-2019 yang menargetkan penurunan angka perokok remaja menjadi 5,4% di tahun 2019.
Selain meningkatnya konsumsi rokok konvensional, pengunaan rokok elektronik pada usia 10-18 tahun juga mengalami peningkatan 9,7% dari 1,2%(2016) menjadi 10,9% (2018). Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menunjukkan 13,7% pelajar mengkonsumsi rokok elektronik dalam sebulan terakhir dan 15,9% pelajar berpendapat bahwa konsumsi rokok elektronik sering/sangat sering dicampur narkoba/bahan sejenis. Bahkan, penggunaan rokok elektronik di 13 provinsi memiliki konsumsi rokok elektronik diatas rata-rata nasional.
Dari rilis yang mampir ke redaksi, kajian Badan POM tahun 2015 menyatakan kandungan larutan/aerosol dalam rokok elektronik mengandung zat aditif dan bahan tambahan yang bersifat karsinogenik. Penggunaan rokok elektronik yang semakin meningkat perlu diperhatikan sebagai upaya untuk menekan penggunaan rokok elektrik di masyarakat khususnya anak dan remaja. Terlebih untuk saat ini di Indonesia belum memiliki aturan yang tegas terkait rokok elektronik. Oleh karena itu, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) akan sukses gelar Press Conference “Bahaya dan Kebijakan Pengendalian Rokok Elektronik di Indonesia”. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan bahaya rokok elektronik dan mendukung regulasi kebijakan pengendalian rokok elektronik di Indonesia.
Hadir dalam prescon Catlin Rideout, Deputy Director Tobacco Control Department, The Union, Ridhwan Fauzi, S.K.M., M.P.H., Ketua Pokja Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, dr. Riskiyana Sukandi Putra, M.Kes, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat , Kemenkes RI, dan Dra. Tri Asti Isnariani, Apt, M. Pharm, Direktur Pengawasan Keamanan, Mutu dan Ekspor Impor Obat NAPZA.
Catlin Rideout menegaskan 10 argumen mengapa rokok elektronik harus dilarang: pertama-tama karena rokok elektronik menargetkan remaja, selanjutnya remaja perokok elektronik akan berpindah dari rokok elektronik ke rokok konvensional, bahaya yang diakibatkan oleh ke-2 jenis produk rokok ini sama saja, juga berdampak negatif pada upaya kesehatan masyarakat, mengeksploitasi celah yang ada pada upaya-upaya penegakan, produk baru ini merupakan gangguan yang akan mengalihkan sumber daya upaya Pengendalian Tembakau, merupakan bentuk interferensi industri, di sisi lain perlu diingat bahwa keamanan harus diutamakan.
Dalam paparannya, Ridhwan Fauzi mengutip data Riset Kesehatan Dasar Nasional 2018, bahwa, “Prevalensi pengguna rokok elektronik di Indonesia sebanyak 2.8% dengan profil pengguna: berusia muda dan berprofesi sebagai pelajar, pendidikan yang relatif tinggi, tinggal di daerah perkotaan, prevalensi laki-laki dan perempuan relatif sama.” Selanjutnya ia mengatakan, masih dari sumber yang sama, lima provinsi tertinggi pengguna rokok elektronik di Indonesia, yaitu: Yogyakarta (7,4%), Kalimantan Timur (6,0%), DKI Jakarta (5,9%), Kalimantan Selatan (4,9%) dan Bali (4,2%). Sedangkan berdasarkan kelompok umur, tertinggi pada usia 10-14 tahun (10,6%) dan 15-19 tahun (10,5%).
Sejalan dengan paparan Catlin, pengguna rokok elektronik menurun pada usia di atas 19 tahun karena remaja pengguna rokok elektronik lalu beralih mengkonsumsi rokok konvensional atau mengkonsumsi keduanya.
“Dalam kurun waktu 2 tahun saja konsumsi rokok elektronik di Indonesia meningkat sebesar 9,7% dari 1,2% (Riskesnas, 2016) menjadi 10,9 % (Riskesdas, 2018),” papar Riskiyana Sukandi Putra. Ia juga menjelaskan bahwa peredaran rokok elektronik di Indonesia sudah sangat luas. Dapat diperoleh melalui: kios/kedai rokok elektrik, toko penjual alat elektonik/gadget, mal hingga minimarket, pameran, bazaar, car free day. Selain itu juga upaya marketing melalui media Youtube atau lainnya. Penyebaran informasi secara visual terus meningkat (unggahan tahun 2014 mencapai 2.504 meningkat menjadi 17.500 tahun 2017).
Jumlah produsen cairan nikotin dalam negeri mencapai 300, produsen alat aksesoris lebih dari 100, distributor dan importir lebih dari 150 (APVI, 2018), jelasnya lebih lanjut.
Sebanyak 98 negara di dunia sudah memiliki aturan yang ketat mengenai rokok elektronik, sedangkan di Indonesia masih berbentuk rekomendasi. Langkah-langkah yang diusulkan oleh Kementerian Kesehatan RI adalah memasukkan pengaturan HTP ke dalam PP 109/2012, didukung dengan; Kajian terkait HTP dan ENDS dampaknya terhadap Kesehatan yang dibutuhkan oleh pihak-pihak terkait (BPOM, Organisasi profesi, RS dll). Ketentuan lebih lanjut dari rokok elektronik akan diatur kedalam Peraturan Menteri.
Dari kajian ter-update dan pandangan WHO, Tri Asti Isnariani mengatakan produk rokok elektronik bernikotin/tanpa nikotin, dan produk tembakau yang dipanaskan (Heated Tobacco Products/HTPs) walaupun berbeda spesifikasinya namun semuanya dapat dikategorikan sebagai produk yang membawa dampak negatif untuk kesehatan, tidak cukup bukti ilmiah untuk menyebutkannya sebagai produk less harmful, sehingga tidak dapat diklaim sebagai cara merokok yang lebih sehat, cara berhenti merokok ataupun nicotine replacement theraphy. BPOM sangat mendukung upaya penyusunan regulasi agar segera terwujud, agar dapat diterima/memberi kepastian kepada masyarakat. Namun sayangnya, berdasarkan PP Nomor 109 Tahun 2012, Badan POM tidak memiliki wewenang terhadap produk variasi rokok elektronik dan HTPs. Badan POM tidak dalam kapasitas memberikan rekomendasi ataupun memberikan izin terkait peredaran produk tembakau baik rokok konvensional, likuid rokok elektronik maupun rokok elektronik.
Sikap IAKMI tegas mendukung kebijakan pelarangan rokok elektronik di Indonesia seperti yang sedang terus diupayakan oleh Kementerian Kesehatan RI, karena terbukti remaja menjadi target utama industri rokok elektronik dan produknya berbahaya bagi kesehatan.
Waspadalah........!