KABARINDO, JOHANNESBURG – Uskup Agung Desmond Tutu, peraih Nobel Perdamaian yang membantu mengakhiri apartheid di Afrika Selatan, meninggal dunia dalam usia 90 tahun hari Minggu (26/12).
Presiden Cyril Ramaphosa mengatakan kematian pendeta itu menandai "babak duka lainnya dalam perpisahan bangsa kita dengan generasi Afrika Selatan yang luar biasa".
Dia mengatakan Uskup Agung Tutu telah membantu mewariskan "Afrika Selatan yang dibebaskan".
Tutu adalah salah satu tokoh negara yang paling terkenal di dalam dan luar negeri.
Sezaman dengan ikon anti-apartheid Nelson Mandela, mendiang Tutu adalah salah satu kekuatan pendorong di belakang gerakan untuk mengakhiri kebijakan segregasi dan diskriminasi rasial yang diberlakukan oleh pemerintah minoritas kulit putih terhadap mayoritas kulit hitam di Afrika Selatan dari tahun 1948 hingga 1991.
Bermotif Agama
Dia dianugerahi hadiah Nobel pada tahun 1984 untuk perannya dalam perjuangan untuk menghapuskan sistem apartheid.
Kematian Tutu terjadi hanya beberapa minggu setelah presiden terakhir era apartheid Afrika Selatan, FW de Clerk, yang meninggal pada usia 85 tahun.
Presiden Ramaphosa mengatakan Tutu adalah "seorang pemimpin spiritual ikonik, aktivis anti-apartheid dan juru kampanye hak asasi manusia global".
Ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1960, ia melayani sebagai uskup Lesotho dari tahun 1976-78, asisten uskup Johannesburg dan rektor sebuah paroki di Soweto.
Ia menjadi Uskup Johannesburg pada tahun 1985, dan diangkat sebagai Uskup Agung kulit hitam pertama di Cape Town.
Dia menggunakan perannya yang terkenal untuk berbicara menentang penindasan orang kulit hitam di negara asalnya, dan selalu mengatakan motifnya adalah agama dan bukan politik.
Setelah Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan pada tahun 1994, Tutu ditunjuk olehnya ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk untuk menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh orang kulit putih dan kulit hitam selama era apartheid.
Dia juga dipuji karena menciptakan istilah Bangsa Pelangi untuk menggambarkan campuran etnis Afrika Selatan pasca-apartheid, tetapi di tahun-tahun terakhirnya dia menyatakan penyesalan bahwa negara itu tidak bersatu seperti yang dia impikan. ***(Sumber:BBC; Foto: M&G)