Oleh: Muh Khamndan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
Jatuhnya El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, ke tangan Rapid Support Forces (RSF) pada 26 Oktober 2025 menandai babak paling kelam dalam sejarah konflik Sudan modern. Kota yang selama 18 bulan dikepung tanpa pasokan pangan dan obat-obatan itu kini menjadi simbol tragedi kemanusiaan dan kegagalan diplomasi global.
Di balik reruntuhan dan tubuh-tubuh tak bernyawa, dunia kembali menyaksikan bagaimana kekuasaan, etnisitas, dan geopolitik berkelindan membentuk lingkaran setan perang saudara.
Perkiraan jumlah korban yang bervariasi, dari 1.500 menurut Sudan Doctors Network, hingga 2.000 menurut tentara nasional (SAF). Jumlah itu menggambarkan sebagian kecil dari penderitaan manusia. Laporan eksekusi massal, serangan terhadap rumah sakit, dan kekerasan seksual terhadap perempuan serta anak-anak—sebagaimana dirilis oleh Kantor HAM PBB—menunjukkan bahwa konflik Sudan telah melampaui dimensi politik menjadi krisis kemanusiaan yang bersifat genosidal.
Secara teoretis, menurut Johan Galtung, dalam konsep Positive Peace (1969), perdamaian bukan sekadar ketiadaan perang (negative peace), melainkan keberadaan keadilan sosial dan struktur yang menopang kemanusiaan. Dalam konteks El-Fasher, perdamaian tidak pernah benar-benar ada sejak Darfur menjadi teater kekerasan pada 2003. Kekuasaan bersenjata berganti rupa; dari Janjaweed menjadi RSF, tetapi kekerasan tetap menjadi bahasa dominan politik Sudan.
RSF sendiri merupakan metamorfosis dari Janjaweed, milisi brutal yang pada masa Presiden Omar al-Bashir menumpas pemberontakan etnis non-Arab di Darfur. Dengan legalisasi lewat undang-undang tahun 2017, RSF naik status menjadi pasukan keamanan resmi. Namun, legitimasi itu justru mengabadikan impunitas dan membuka jalan bagi perang horizontal antara militer nasional dan pasukan paramiliter.
Kemenangan RSF di El-Fasher berarti seluruh lima ibu kota negara bagian di Darfur kini berada di bawah kendalinya. Ini bukan hanya kemenangan militer, melainkan juga pergeseran kekuasaan geopolitik. Darfur kini berpotensi menjadi entitas semi-merdeka yang de facto terpisah dari Khartoum. Para analis memperingatkan, Sudan berisiko “terbelah dua”, mengulangi luka lama yang melahirkan Sudan Selatan pada 2011.
Dari perspektif studi perang, perang saudara di Sudan adalah bentuk klasik intra-state conflict yang mengalami internationalization. Campur tangan kekuatan asing—baik langsung maupun melalui dukungan senjata, teknologi, dan logistik—telah memperpanjang umur konflik. Sebagaimana di Suriah atau Libya, perang di Sudan menjadi arena proksi bagi kepentingan luar, sebagaimana Israel, Uni Emirat Arab, dan kekuatan regional lain memainkan peran tersembunyi di balik layar.
Hubungan rahasia RSF dengan Israel, sebagaimana dilaporkan Haaretz dan The New Arab, memperlihatkan bagaimana logika keamanan regional menggantikan logika kemanusiaan. Israel melihat Sudan sebagai koridor strategis menuju Afrika dan Laut Merah, bukan sebagai negara yang memerlukan perdamaian. Normalisasi hubungan diplomatik yang dijanjikan Washington kepada Khartoum pada 2020 menjadi alat tawar, bukan jembatan damai.
Dalam teori resolusi konflik, John Paul Lederach menekankan pentingnya conflict transformation, bukan sekadar conflict management. Artinya, solusi damai tidak dapat dicapai tanpa mengubah struktur sosial dan politik yang menjadi sumber konflik. Namun, baik RSF maupun SAF sama-sama mewarisi struktur eksklusif, berbasis etnis dan militeristik, yang justru memelihara kekerasan sebagai sarana legitimasi kekuasaan.
Langkah mundur pasukan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dari El-Fasher dengan alasan “menghindari pembunuhan massal” justru memperlihatkan dilema klasik perang saudara, sebuah kondisi antara bertahan dengan risiko genosida atau menyerah dengan risiko kehilangan kedaulatan. Dalam kacamata Just War Theory, keputusan itu mungkin memenuhi prinsip noncombatant immunity, tetapi gagal dalam prinsip proportionality karena menyerahkan warga sipil pada kekuasaan yang lebih brutal.
Kehancuran El-Fasher juga menandai kegagalan komunitas internasional. Menteri Luar Negeri Sudan menuding dunia bungkam terhadap kekerasan RSF dan tudingan itu bukan tanpa dasar. Resolusi Dewan Keamanan PBB berulang kali tertunda karena tarik-menarik kepentingan geopolitik antara anggota tetap. Sementara itu, lembaga-lembaga kemanusiaan internasional menghadapi akses terbatas dan risiko keamanan ekstrem.
Krisis di El-Fasher membangkitkan kembali pelajaran pahit dari Rwanda (1994) dan Bosnia (1995); ketika dunia menunda tindakan, genosida menjadi keniscayaan. Dalam konteks ini, Responsibility to Protect (R2P)—sebagai doktrin intervensi kemanusiaan yang diadopsi PBB pada 2005—kembali dipertanyakan efektivitasnya. Apakah dunia hanya akan berduka setelah mayat-mayat dimakamkan massal?
Dalam pendekatan Track II Diplomacy, ada peluang bagi komunitas akademik, lembaga keagamaan, dan masyarakat sipil untuk memainkan peran lebih aktif. Sudan memiliki sejarah panjang pluralitas sosial dan jaringan diaspora yang luas di Afrika dan Timur Tengah. Potensi ini bisa menjadi jembatan perdamaian jika dimobilisasi secara strategis oleh mediator independen di luar struktur kekuasaan militer.
Namun, tanpa penghentian dukungan militer asing, setiap upaya perdamaian akan lumpuh sejak awal. RSF dan SAF sama-sama bergantung pada suplai senjata dan logistik eksternal. Oleh karena itu, embargo senjata yang efektif—seperti yang diterapkan PBB pada konflik Liberia dan Sierra Leone—perlu dipertimbangkan kembali sebagai langkah awal menuju de-escalation.
Selain itu, negosiasi damai perlu bergeser dari diplomasi elitis ke inclusive peace process yang melibatkan korban, perempuan, dan komunitas etnis minoritas maupun komunitas mayoritas. Dalam konteks teori human security, keamanan warga sipil harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar stabilitas politik. El-Fasher harus menjadi titik balik, bukan sekadar catatan tragis dalam sejarah panjang konflik Sudan.
Ketika ribuan orang mengungsi ke kamp Tawila dan lebih dari 26.000 melarikan diri dari El-Fasher, dunia menghadapi pertanyaan moral: Sampai kapan kita menonton tragedi yang sama berulang dengan narasi berbeda? Perdamaian sejati—sebagaimana dikatakan Galtung—hanya lahir ketika struktur ketidakadilan dirobohkan dan digantikan oleh sistem yang menghormati martabat manusia.
El-Fasher bukan sekadar kota yang jatuh. Ia adalah cermin kegagalan tatanan global dalam mencegah kekerasan yang dapat diprediksi. Sudan hari ini adalah laboratorium bagi teori perdamaian dunia. Namun, apakah diplomasi global masih mampu menyelamatkan bangsa yang terpecah oleh senjata, etnis, dan ambisi kekuasaan? Jawabannya akan menentukan bukan hanya masa depan Sudan, melainkan juga kredibilitas kemanusiaan dunia.
Source: KUMPARAN





