KABARINDO, JAKARTA - Penyalahgunaan dana umat yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) kembali mencuat ke publik, kali ini melibatkan pengusaha Sukoco Halim, yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan dana senilai Rp 700 miliar melalui Bank Muamalat. Kasus ini mengungkap adanya skema pembiayaan yang tidak transparan dan berisiko tinggi, yang mengarah pada kerugian besar bagi keuangan umat.
Dugaan penyalahgunaan dana ini terungkap berawal dari hasil investigasi CNBC Indonesia pada Juni 2025. Laporan tersebut mengidentifikasi adanya pembiayaan bermasalah yang menyebabkan rasio pembiayaan bermasalah atau Non-Performing Financing (NPF) Bank Muamalat membengkak. Pembiayaan senilai Rp 700 miliar tersebut disalurkan kepada perusahaan data center, PT Harrisma Data Citta (HDC), yang dikelola oleh Sukoco Halim. Pembayaran cicilan pertama dari HDC gagal dilakukan, sehingga menambah tumpukan masalah keuangan bagi bank syariah tertua di Indonesia ini.
Menurut catatan dari Datacenter Dynamics, kesepakatan pembiayaan antara Bank Muamalat dan HDC dilakukan pada 2023 melalui direktur utama Indra Falatehan dan direktur risiko bisnis Hery Syafril, sementara pihak HDC diwakili langsung oleh Sukoco Halim selaku Presiden Direktur saat itu. Namun, saat ini, posisi Sukoco Halim telah bergeser menjadi CEO dari perusahaan data center baru, METTA, yang memiliki rencana besar untuk membangun 3.000 rak server di Jababeka.
Terkait hal ini, dugaan perubahan identitas perusahaan atau integrasi antara HDC dan METTA semakin menguat. Website HDC kini secara otomatis mengarah ke situs METTA, menunjukkan adanya keterkaitan antara kedua perusahaan tersebut. Selain itu, penelusuran terhadap jaringan infrastruktur yang digunakan oleh kedua entitas ini memperlihatkan adanya tumpang tindih yang semakin memperkuat dugaan adanya pengalihan aset atau pembiayaan yang bermasalah.
Kasus ini semakin menarik perhatian karena terkait dengan penggunaan dana umat yang dikelola oleh BPKH. Pada 2022, BPKH melakukan rights issue senilai Rp 1 triliun kepada Bank Muamalat, dengan tujuan memperkuat struktur permodalan bank tersebut. Dana yang berasal dari Pendaftaran Haji (DPH) ini seyogianya digunakan untuk kepentingan umat, namun kini justru berisiko terjebak dalam pembiayaan yang bermasalah.
Menanggapi hal ini, Corporate Secretary Bank Muamalat, Hayunaji, menjelaskan bahwa penyebab utama pembengkakan NPF di bank tersebut disebabkan oleh penurunan total outstanding pembiayaan, akibat adanya pelunasan angsuran nasabah dan perubahan segmentasi pembiayaan dari korporasi ke retail dan konsumer. Namun, saat ditanyakan lebih lanjut tentang pembiayaan yang macet kepada HDC, Hayunaji hanya menyebutkan bahwa proses penyelesaian sedang dilakukan melalui lelang jaminan.
Ketika para wartawan berusaha mencari keterangan lebih lanjut pada 10 September 2025, mereka mendapatkan jawaban yang mengecewakan, dengan resepsionis menyatakan bahwa Hayunaji tengah tidak dapat diganggu karena sedang dalam rapat.
Jika terbukti, kasus ini tidak hanya akan menimbulkan kerugian finansial yang besar, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana haji dan dana umat yang dikelola oleh BPKH. Dana umat seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama, seperti pendidikan, dakwah, kesehatan, dan sarana ibadah, namun jika disalahgunakan, dampaknya akan sangat merugikan citra lembaga pengelola haji dan bank syariah di Indonesia.
Pada akhirnya, masyarakat berharap agar kasus ini dapat diselesaikan dengan transparansi dan keadilan, serta memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan dana umat. Sebagai bagian dari negara yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebermanfaatan bagi umat, tindakan semacam ini tentu tidak dapat diterima.