Iskandar Widjaja bersama musisi dalam satu ruang musikal yang disiplin dan berkesadaran.
Oleh: Z~A. Zen
Pemerhati Seni - Budaya - Peradaban
Ada seniman yang dikenal karena puncak-puncaknya, dan ada seniman yang dikenali karena cara ia berjalan. Iskandar Widjaja termasuk yang kedua. Perjalanannya bersama biola tidak disusun untuk mengejar sorotan, melainkan ditempa oleh kesetiaan yang panjang kesetiaan pada disiplin, pada bunyi, dan pada keyakinan bahwa musik adalah laku hidup, bukan sekadar peristiwa panggung.
Dalam setiap penampilannya, Iskandar membawa sesuatu yang telah mengendap. Teknik tidak pernah tampil sebagai tujuan, melainkan bekerja dalam diam, memberi ruang bagi makna untuk bernapas. Ia tidak datang untuk membuktikan keunggulan, karena biola itu sendiri telah menjadi bagian dari cara ia berpikir, merasa, dan hadir sebagai manusia.
Kepiawaian Iskandar Widjaja tidak lahir dari dorongan untuk menguasai ruang, melainkan dari kemampuan membaca dan memuliakan ruang. Ia memimpin kolaborasi dengan ketegasan yang jernih, tanpa mengeraskan suasana. Keseriusan hadir tanpa ketegangan, kegembiraan tumbuh tanpa kehilangan bentuk. Dalam kepemimpinannya, musik bergerak sebagai kerja bersama yang beretika.

Dalam proses bersama, musik dijalani sebagai disiplin dan sikap, bukan semata-mata teknik.
Ia memiliki kepekaan untuk memahami bahwa kualitas tidak pernah lahir dari tekanan, melainkan dari kepercayaan yang diarahkan. Bersama musisi muda dan mahasiswa, standar tidak diturunkan justru ditinggikan melalui proses yang jujur. Kolaborasi tidak menjadi kompromi, tetapi ruang tumbuh, tempat setiap bunyi menemukan martabatnya.
Daya tarik Iskandar Widjaja tidak dibangun dari persona yang dirancang. Ia tumbuh dari karakter yang utuh keseriusan yang bersahabat, ketegasan yang tidak mematahkan, dan kegembiraan yang tetap terjaga arahannya. Ia memimpin dengan contoh, bukan dengan gestur besar. Kehadirannya di panggung menghadirkan rasa aman bahwa musik berada di tangan yang memahami batas dan tanggung jawab.
Penonton tidak sekadar terkesan, mereka mempercayai. Dan kepercayaan adalah bentuk penghormatan tertinggi dalam seni.
Biola bagi Iskandar Widjaja bukan sekadar instrumen, melainkan jalan hidup. Ia dijalani sebagai disiplin yang panjang, sebagai cara menata diri, dan sebagai ruang perenungan yang tidak selesai-selesai. Dalam hubungan itu, bunyi tidak dipaksa untuk hadir, melainkan dipersiapkan dengan kesadaran.
Saya melihat Iskandar Widjaja ketika memegang biola bahkan ketika instrumen itu masih berada di dalam tas telah menyatu sepenuhnya dengan dirinya. Hubungan itu melampaui kebiasaan teknis seorang pemain dengan alatnya. Ia menyerupai kesatuan naluriah yang telah ditempa lama seperti ketepatan seorang penembak jitu yang tidak lagi memikirkan senjata di tangannya karena tubuh, alat, dan kehendak telah berpadu dalam satu kesadaran utuh. Pada titik itu, biola bukan lagi benda, melainkan perpanjangan dari niat dan keheningan batin. Musik belum dibunyikan, tetapi arah dan ketepatannya telah hadir.

Biola bukan lagi instrumen, melainkan perpanjangan dari niat dan keheningan batin.
Dalam lintasan perjalanan panjang itu, Bandung menjadi salah satu simpul yang bermakna. Bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai ruang perjumpaan. Kehadiran Iskandar Widjaja di kota ini tidak berdiri sebagai pusat yang menyerap segalanya, melainkan sebagai poros yang menyatukan.
Bersama para musisi Bandung, musik berkembang sebagai dialog yang hidup. Energi lokal yang segar bertemu dengan pengalaman yang telah lama mengendap, melahirkan bunyi yang jujur dan bernapas. Tidak ada relasi satu arah, tidak ada yang merasa sekadar mengiringi. Yang hadir adalah kesadaran kolektif bahwa kualitas lahir ketika kepercayaan diberikan dan dijaga bersama.
Penyelenggaraan malam itu tumbuh menjadi lebih dari sekadar kerangka acara. Ia menjelma ruang kerja bersama sementara namun utuh tempat disiplin, rasa, dan kegembiraan saling menopang. Iskandar Widjaja memperkaya ruang itu bukan dengan menonjolkan diri, melainkan dengan menguatkan seluruh proses. Dan justru karena itu, kehadirannya terasa menyatu.

Apa yang disaksikan di Bandung bukanlah puncak, bukan pula pernyataan akhir. Ia hanyalah satu fragmen dari perjalanan yang terus berjalan. Iskandar Widjaja memperlakukan setiap pentas sebagai kelanjutan dari belajar sebuah kesempatan untuk memahami kembali bunyi, manusia, dan kerja bersama.
Musik tidak selesai di tepuk tangan. Ia berlanjut sebagai ingatan, sebagai perubahan halus dalam cara orang mendengar setelahnya. Di titik inilah seni melampaui peristiwa dan memasuki wilayah peradaban.
Keagungan Iskandar Widjaja tidak bersandar pada klaim atau gestur besar. Ia lahir dari konsistensi laku. Ia tidak menempatkan dirinya di atas musik, dan tidak pula menenggelamkan dirinya di baliknya. Ia berdiri di posisi yang tepat cukup dekat untuk membimbing, cukup lapang untuk memberi ruang.
Biola di tangannya tidak menjadi alat dominasi, melainkan medium penghubung antara disiplin dan rasa, antara individu dan kolektif, antara masa lalu dan masa kini. Ia merendahkan egonya agar musik dapat berdiri utuh. Dan justru di situlah keagungannya menemukan bentuk yang paling tahan waktu.
Sesungguhnya, di balik perjumpaan-perjumpaan yang tampak sederhana, telah diletakkan sebuah niat kerja bersama bukan sebagai proyek sesaat, melainkan sebagai ikhtiar panjang. Sebuah upaya untuk mengembalikan musik pada perannya yang paling hakiki sebagai ruang kesadaran, sebagai kerja nilai, sebagai bagian dari pembangunan batin sebuah bangsa.
Jika kelak ikhtiar ini berjalan lebih luas, ukurannya bukanlah skala atau sorotan, melainkan makna dan dampaknya. Dampak pada cara musisi bekerja bersama. Dampak pada cara generasi muda memandang disiplin. Dampak pada cara seni ditempatkan dalam kehidupan publik bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai penyangga martabat.
Sejarah kerap tumbuh diam-diam. Ia dibangun oleh orang-orang yang memilih berjalan pelan tetapi jauh, setia pada proses, dan tidak tergesa mengumumkan arah. Musik dalam pengertian ini menjadi bagian dari kerja peradaban bukan karena ia lantang, melainkan karena ia jujur.
Narasi ini disimpan bukan untuk mengabadikan satu malam, satu kota, atau satu peristiwa. Ia disimpan sebagai jejak perjalanan seorang musisi yang memahami bahwa seni yang bertahan lama tidak lahir dari ambisi sesaat, melainkan dari kesetiaan yang panjang.
Iskandar Widjaja berjalan di jalur itu.
Dan selama perjalanan itu dijaga dengan integritas, musik akan selalu menemukan jalannya bersama manusia, bersama waktu, dan bersama peradaban yang terus diperjuangkan.





