RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Urgen Disahkan; Berikan Payung Hukum yang Berkeadilan bagi Korban
Jurnalis perempuan berbagi pengalaman meliput kasus kekerasan seksual
Surabaya, Kabarindo- RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) harus segera disahkan untuk memberikan payung hukum yang berkeadilan kepada korban.
Topik ini dibahas dalam webinar pada Sabtu (18/12/2021) yang diadakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dalam rangka memperingati HUT ke-14. Kegiatan ini menghadirkan beberapa jurnalis perempuan yang berbagi pengalaman meliput kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
Pengalaman tersebut penting menjadi masukan bagi pengambil kebijakan, bahwa Indonesia sudah darurat kekerasan seksual dengan banyaknya kasus yang tidak terselesaikan, minimnya keberpihakan aparat penegak hukum hingga belum adanya payung hukum yang berkeadilan kepada korban.
Berbagi pengalaman meliput kasus kekerasan seksual ini dilakukan oleh jurnalis perempuan yang tergabung dalam FJPI se-Indonesia yaitu Eka Rimawati (CNN Indonesia/FJPI Jatim), Cornelia Mudumi (Inews Jayapura/FJPI Papua), Anik Mukholatin Hasanah (RRI Surabaya/FJPI Jatim), Diana Saragih (fjpindonesia.com/FJPI Sumut), Fitri Madia (IDNTimes/FJPI Jatim) dan Nurmala (Puja TV Aceh/FJPI Aceh).
Sebagai penanggap dalam webinar ini adalah Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan), Diah Pitaloka (anggota DPR RI/PDI Perjuangan), Desy Ratnasari (anggota DPR RI/PAN), Kompol Ema Rahmawati, SIK (Tipidum Bareskrim Polri) dan Nahar (Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak / KemenPPPA).
Ketua FJPI, Uni Lubis, mengatakan berbagi pengalaman jurnalis perempuan meliput kasus kekerasan seksual ini diharapkan dapat menjadi pendorong untuk mengawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) agar segera disahkan, sebagai payung hukum yang berkeadilan kepada korban. Apalagi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat setiap tahun.
“Kita tentu miris, karena DPR belum meletakkan RUU TPKS ini sebagai usulan inisiatif DPR RI, padahal urgensinya sangat tinggi. Apalagi kasus kekerasan seksual sangat banyak. Kalau dilihat dari laporan yang masuk ke Komnas Perempuan, setidaknya ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap hari atau bisa dikatakan dalam setiap dua jam ada 3 perempuan yang menjadi korban,” ujarnya.
Eka Rimawati (CNN Indonesia/FJPI Jatim) mengungkapkan pengalamannya meliput kasus pencabulan dan persetubuhan di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Jombang pada 2019 dengan pelaku putra kyai ponpes tersebut. Kasus ini terhenti karena dikatakan kurang bukti.
“Di sinilah pentingnya jurnalis perempuan yang punya empati untuk melakukan peliputan dan mendukung korban untuk bersuara,” ujarnya.
Berpihak kepada korban
Eka menuturkan, menjadi jurnalis yang meliput kekerasan seksual juga harus cermat. Untuk mengetahui siapa pihak yang salah dan siapa yang benar, jurnalis harus mencari data, melakukan investigasi dan menganalisis serta berkonsultasi dengan para pakar, sehingga tidak langsung percaya dari keterangan terduga dan korban saja. Setelah mengetahui secara detil kejadiannya, jurnalis baru bersikap dengan berpihak kepada korban.
“Keberpihakan kepada korban itu perlu, apalagi korban tidak bisa membela dirinya. Pendampingan informasi dari media sangat dibutuhkan korban, terutama jika pelaku berkelit dari hukum,” tandasnya.
Eka melihat, ada kejanggalan ketika pelimpahan berkas dari Polda Jatim ke kejaksaan. Kejaksaan menolak berkas P21 dengan alasan tidak cukup bukti. Pada pertengahan Desember, pelaku mengajukan pra-peradilan dan menggugat penyidik sebesar Rp.100 juta.
Ia mengatakan, banyak kasus yang terhenti di penyidik, sehingga muncul peluang tersangka mengajukan pra-peradilan. Pra-peradilan ini ujungnya menjadi subjektivitas hakim, agar status tersangka dapat dihapuskan dan upaya korban untuk mendapatkan keadilan menjadi lebih panjang.
“Syukurnya, ketika itu banyak pihak yang mengawal kasus ini, termasuk intervensi media dalam penyebaran informasinya. Akhirnya permohonan tersangka ditolak. Ini menjadi semangat baru bagi korban untuk memperoleh keadilan. Upaya itu terbuka kembali,” paparnya.
Jalan panjang yang harus dilalui korban dalam proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual juga dipaparkan jurnalis lainnya, termasuk minimnya keberpihakan aparat penegak hukum (APH) kepada korban, sulitnya mencari bukti dan saksi dalam kasus tersebut, banyaknya kasus kekerasan seksual yang akhirnya diselesaikan dengan damai secara adat seperti yang terjadi di Papua, hingga pengalaman jurnalis di Aceh yang meliput banyaknya kasus kekerasan yang diselesaikan tidak dengan hukum positif melainkan dengan hukum qanun jinayah.
“Qanun ini tidak melindungi korban sepenuhnya, karena di sini untuk menjerat pelaku, penegak hukum hanya memberikan sanksi cambuk, pemotongan kurungan. Berbeda kalau penegak hukum menggunakan hukum positif yang tentunya lebih berpihak kepada korban,” ujar Nurmala dari Puja TV, FJPI Aceh.
Menanggapi hal ini, Diah Pitaloka (anggota DPR RI/PDI Perjuangan), mengatakan DPR RI terus berupaya untuk segera mengesahkan RUU TPKS. “RUU ini akan disidangkan pada awal masa sidang berikutnya. RUU ini akan tetap dibahas di paripurna inisiatif DPR. Soal jadwal ini hanya menyangkut prosedur normatif, bukan untuk menggagalkannya,” ujarnya.
Diah setuju, RUU TPKS harus dikawal bersama, karena di dalamnya menjawab hambatan-hambatan proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi. Dalam RUU TPKS ini termasuk diatur tentang perluasan mengenai alat bukti dan saksi agar lebih berkeadilan kepada korban.
Desy Ratnasari (anggota DPR RI/PAN) menyatakan komitmen diri dan partainya untuk segera mengesahkan RUU TPKS. “Sikap pribadi saya tentunya akan mempengaruhi pimpinan fraksi dan membuat mereka juga berpikir tentang urgensinya UU ini untuk disahkan, sehingga dapat melindungi korban,” ujarnya.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menambahkan perlu diingat bahwa jika RUU TPKS sudah disahkan, bukan berarti kasus kekerasan seksual akan menurun. Malah akan meningkat, karena korban berkeyakinan sudah ada hukum yang berkeadilan. Untuk itu, diperlukan kesiapan infrastruktur pelayanan kasus-kasus kekerasan seksual guna mendukung keberadaan UU TPKS ke depan.
“Kita harus antisipasi infrastruktur pelayanannya. Saya yakin akan semakin banyak korban yang melapor. Makanya infrastrukturnya harus disiapkan, karena status darurat kekerasan seksual itu bukan hanya soal laporan yang naik. Tapi daya dukung penanganannya sangat terbatas, hampir tidak bisa menampung dan menyikapi kasus selama ini. Mekanisme pencegahan dan pengawasannya juga harus disiapkan,” terangnya.
Sementara aparat penegak hukum melalui Kompol Ema Rahmawati, SIK (Tipidum Bareskrim Polri) dan Nahar (Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak / KemenPPPA) menyatakan komitmen mereka untuk memperbaiki kualitas pelayanan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, sehingga kasus-kasus demikian dapat ditangani dengan baik dan diharapkan tidak terulang lagi.