KABARINDO, JAKARTA - Pengamat Pertahanan, Dina Hidayana mengatakan bahwa kita tidak bisa menjadi sekedar penonton dalam menghadapi gejolak geopolitik Israel-Palestina yang belakangan semakin meluas melibatkan negara-negara aliansinya.
Konflik yang ditengarai bermula sejak Deklarasi Balfour oleh Kemenlu Inggris, tanggal 2 November 1917 dengan memberi ruang migrasi massal bagi kaum Yahudi ke Palestina yang mayoritas Muslim.
Menurut alumnus Doktoral Universitas Pertahanan RI ini hal tersebut berujung pada okupasi tanah dan berbagai sumber daya oleh populasi pendatang yang terus meningkat, maraknya tindak kekerasan dan rasa ketidakadilan hingga menguatkan eskalasi konflik di awal 2024 dengan keterlibatan Iran yang memancing reaksi negara lainnya.
“Indonesia tidak boleh berpangku tangan menghadapi dinamika global yang cenderung memanas,” ujar Dina Hidayana.
Selain upaya aktif turut menjaga perdamaian dan ketertiban dunia sebagaimana amanah konstitusi, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan di domestik dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk dari prediksi pecahnya perang dunia ketiga akibat perluasan konflik.
“Salah satu yang utama adalah membangun Sistem Bunker Pangan (Food Bunker) yang tahan dari berbagai serangan persenjataan maupun gempa,” urai Dina Hidayana yang juga Ketua Umum Ikatan Alumni Pertanian (IKATANI) ini.
Dina Hidayana menegaskan pembangunan food bunker perlu diprioritaskan, baik itu untuk antisipasi kondisi perang maupun darurat krisis pangan. Penyimpanan pangan segar ataupun olahan untuk minimal 6 (enam) bulan, sebagai antisipasi dampak perang berlarut dan climate change.
Kondisi penyimpanan yang dimiliki Bulog saat ini hanya memadai untuk kurun waktu pendek, beberapa kurang layak dan tidak anti serangan senjata ataupun gempa.
Dalam geopolitik yang supra dinamik, lanjut Ketua Depinas SOKSI ini, tingkat pemerataan produksi dan distribusi yang belum optimal serta perubahan iklim ekstrim mengharuskan Indonesia segera berbenah dalam pengelolaan pangan hingga penyimpanan, selain tentunya kelola produksi berkelanjutan.
Lebih lanjut, Dina Hidayana mengingatkan potensi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, yang telah terbukti saat pra kolonialisme, namun ironisnya justru berubah menjadi negara importir pasca kemerdekaan RI, bahkan masuk jajaran Top Rank Importir Pangan.
“Indonesia perlu introspeksi untuk segera merubah posisi importir menjadi produsen yang disegani, terkhusus hal Pangan utama, contohnya: impor beras Indonesia Tahun 2023 di rangking kedua terbesar dunia, sangatlah tragis bagi negara dengan berbagai anugrah yang melimpah,” ujar Dina.
Dina mencatat berbagai fenomena dan data yang menunjukkan ketidaksiapan pemerintah di berbagai belahan bumi atas kelola pangan baik dalam kondisi damai maupun perang, akan berpotensi memantik dan mengeskalasi kejatuhan rezim serta menuai konflik yang berujung pada peperangan.
“Pengelolaan pangan yang tepat dari hulu ke hilir, sistem produksi yang mumpuni berwawasan ekoholistik futuristik, serta pengaturan pasca panen, baik itu olah produk, penyimpanan sekaligus distribusinya akan mengatasi persoalan mendasar masyarakat” pungkas Dina.