PRODUKSI MIGAS : Hasil riset Rystad Energy menyebutkan potensi peningkatan produksi migas laut dalam. (FOTO/istimewa)
KABARINDO, JAKARTA - Indonesia diyakini masih memiliki pasar besar sektor energi khususnya di migas. Ini tidak lepas dari proyeksi makin meningkatnya kebutuhan energi seiring dengan target peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah. Migas kini jadi salah satu sektor yang paling jadi perhatian karena meskipun tetap punya misi transisi energi, presiden Prabowo Subianto sudah menetapkan target swasembada energi salah satu caranya dengan meningkatkan produksi migas.
Stephen Salomo, Analyst E&P Research Rystad Energy, mengungkapkan dari analisis yang dilakukan peluang Indonesia di industri hulu migas masih sangat besar. Bahkan Indonesia jadi salah satu negara yang jadi perhatian khusus para pelaku usaha di sektor hulu migas dunia. Ini tidak lepas dari beberapa temuan giant discovery yang terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Dalam strategi transisi energi yang diusung pemerintah terdapat beberapa skenario yang dibagi berdasarkan kecepatan transisi tersebut. Dari beberapa skenario ada satu kesamaaan yang bisa dilihat yakni sama-sama masih membutuhkan migas dalam jumlah yang besar. "Mau skenario-nya slow transition, mau skenario-nya very fast transition, kita masih perlu minyak," kata stephen dalam media briefing bertema “Mewujudkan Ketahanan Energi Untuk Capai Cita-cita Indonesia Emas” di Jakarta, Selasa (17/12).
Dalam analisis yang dilakukan Rystad Energy, kawasan Asia Tenggara jadi salah satu wilayah dengan nilai investasi hulu migas terbesar di dunia. Total investasi proyek hulu migas yang sudah Final Investment Decision (FID) pada tahun 2025 mencapai US$21 miliar dimana secara persentase investasi tersebut 50% lebih dialokasikan untuk pengembangan cadangan gas.
Potensi cadangan migas di Indonesia saat ini juga sudah mulai bergerak ke wilayah laut dalam. Sebut saja blok Masela. Kemudian ada juga di Geng North, Layaran dan Tangkulo.
Hal itu juga terjadi di berbagai wilayah di negara lain. Menurut Stephen, hal itu dinilai wajar karena dari sisi volume memang rata-rata temuan cadangan migas di migas laut dalam jumlah cadangannya terbilang besar atau giant discovery. "Sepanjang tahun 2023-2024 ada 5 temuan besar di dunia adalah berasal dari deep water. Kenapa itu semakin didorong, karena discovery-nya selalu besar," ujar Stephen.
Proyek migas laut dalam juga dinilai akan makin sering digarap. Para kontraktor ke depan tidak akan ragu untuk menggelontorkan investasi karena dengan perbaikan data serta perkembangan teknologi, diharapkan keekonomian proyek migas laut dalam akan semakin baik. Menurutnya tren penurunan ongkos produksi dari kegiatan migas laut dalam yang terjadi di dunia akan juga dialami di Indonesia.
"Kalau kita lihat dari sisi global, pertama teknologinya sudah berkembang, dulu development cost untuk deep water mungkin secara global itu bisa sampai USD14 per barel oil equivalent (BOE). Sekarang dengan teknologi di Guyana, Suriname, bahkan di Indonesia, kita bisa mencapai rata-rata disekitar USD8 per BOE. Soalnya dalam waktu kurang lebih dari 10 tahun, perbedaannya jadi signifikan," jelas Stephen.
Sementara itu, Sofwan Hadi, Country Head Indonesia Rystad Energy, menilai salah satu kunci utama dalam memanfaatkan potensi migas yang diyakini masih besar terkandung di Indonesia adalah kecepatan dalam pengambilan keputusan. Dia mengapresiasi apa yang terjadi dalam pengembangan Geng North yang jadi salah satu temuan terbesar di dunia pada tahun 2023 lalu dan respon pemerintah terhadap temuan tersebut.
Menurutnya kecepatan dalam proses pegembangan Geng North dan Indonesia Deepwater Development (IDD) untuk lapangan Gehem Wilayah Kerja Ganal dan Wilayah Kerja Rapak (North Hub Development Project Selat Makassar) patut diapresiasi karena dalam hitungan satu tahun sudah disetujui rencana pengembanga (Plan of Development/POD). "Kalau kita lihat butuh pengambilan keputusan dengan cepat, dekati mereka (investor) tarik komitmen mereka pengerjaan proyek harus dipercepat," kata Sofwan.