Oleh: (Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute)
KABARINDO, JAKARTA - Di era media sosial, setiap tindakan dan pernyataan figur publik bagaikan peluru yang ditembakkan ke ruang publik. Begitu keluar, peluru itu tidak lagi sepenuhnya dalam kendali sang penembak. Ia akan meluncur dengan arah dan dampak yang sering kali tak terduga, bergantung pada siapa yang menerima dan bagaimana audiens menginterpretasikannya. Dalam konteks ini, teori komunikasi klasik, Bullet Theory, menemukan relevansinya: pesan yang dilemparkan ke publik melalui media sosial dapat langsung menembus pikiran audiens, membentuk persepsi tanpa ruang untuk refleksi kritis.
Kasus Gus Miftah adalah salah satu contoh nyata dari fenomena ini. Gus Miftah, seorang pendakwah yang selama ini dikenal karena keberaniannya menjangkau kelompok-kelompok marjinal, mendadak menjadi sasaran kritik tajam hanya karena tindakan atau pernyataan yang viral di media sosial. Konteks perjalanan panjangnya sebagai sosok yang membangun jembatan bagi mereka yang selama ini terpinggirkan seakan terhapus oleh satu momen yang disalahpahami atau dieksploitasi oleh narasi singkat di media.
Media Sosial dan Kebenaran Semu
Media sosial sering kali melahirkan kebenaran semu—narasi yang viral, singkat, dan emosional, tetapi kehilangan substansi dan konteks. Setiap tindakan Gus Miftah yang menyeruak ke ruang publik di media sosial bukan lagi menjadi miliknya. Kata-kata dan gesturnya direduksi, diolah, dan disebarluaskan tanpa memberikan ruang bagi audiens untuk memahami konteks sebenarnya. Inilah wajah media sosial: sebuah ruang di mana opini lebih kuat daripada fakta, dan persepsi sering kali mengalahkan kenyataan.
Alih-alih menjadi ruang diskusi yang sehat, media sosial kerap menjadi panggung penghakiman instan. Publik beramai-ramai menjadi “guru moral” dadakan, yang lupa bahwa mereka pun manusia yang tidak sempurna. Di tengah derasnya kritik, kontribusi besar Gus Miftah sebagai pendakwah yang mendekati mereka yang tak tersentuh sering kali terabaikan
Manusia, Ketidaksempurnaan, dan Pelajaran Moral
Kita semua sadar bahwa manusia tidak mungkin sempurna. Tidak ada seorang pun yang bisa stabil sepenuhnya dalam menjaga diri dari kesalahan. Bahkan pemikiran dan tindakan terbaik kita pun terkadang bisa meleset dari tujuan yang semestinya. Namun, apa yang membedakan manusia yang bijak dari yang tidak adalah kemampuan untuk mengakui kesalahan, meminta maaf, dan memperbaiki diri.
Dalam kasus Gus Miftah, ketika kontroversi semakin meluas, ia memilih langkah yang jarang dilakukan oleh figur publik: ia meminta maaf. Tidak hanya itu, ia juga mengundurkan diri dari posisi yang dianggapnya tidak lagi mendukung harmoni dan kontribusi yang ia upayakan. Langkah ini, dalam pandangan manusia yang bijak, adalah tindakan yang tidak hanya layak dihargai tetapi juga diapresiasi.
Mengakui kesalahan di ruang publik adalah pendidikan moral yang sangat tinggi dan elegan. Di tengah atmosfer media sosial yang penuh dengan polarisasi dan egoisme, Gus Miftah memberikan pelajaran berharga tentang keberanian moral dan tanggung jawab. Ia menunjukkan bahwa reputasi sejati seseorang tidak diukur dari absennya kesalahan, tetapi dari cara ia merespons ketika kesalahan itu terjadi.
Saatnya Menutup Panggung
Setelah permintaan maaf dan pengunduran diri Gus Miftah, logika manusia yang bijak semestinya menghentikan kontroversi ini. Panggung itu, dengan segala drama dan penghakimannya, semestinya sudah sepi penonton. Kritikan yang terus berlanjut setelah tindakan penuh tanggung jawab seperti ini tidak lagi menjadi cerminan moralitas, melainkan kegagalan untuk memahami inti dari kebijaksanaan itu sendiri.
Mungkin inilah saatnya kita belajar bahwa tidak semua peluru harus ditembakkan, dan tidak semua panggung harus terus dimainkan. Kasus Gus Miftah mengingatkan kita bahwa ruang publik semestinya menjadi arena pembelajaran dan penghargaan terhadap kebenaran dan keberanian, bukan arena penghakiman tanpa akhir. Jika permintaan maaf yang tulus dan langkah mundur yang elegan tidak dihargai, maka masalahnya bukan lagi pada figur yang dikritik, tetapi pada kita sebagai audiens yang gagal memahami nilai dari kebijaksanaan dan penghormatan.