Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi
Direktur Dehills Institute
Vonis 4 tahun 6 bulan terhadap Thomas Trikasih Lembong, mantan Kepala BKPM dan eks Timses Capres, mendadak menjadi viral. Banyak yang menyebut kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi oposisi, bahkan sebagai alat kekuasaan untuk membungkam. Sayangnya, sebagian yang bersuara hari ini justru dulu diam saat peristiwa serupa terjadi.
Namun, di tengah riuh teriakan soal keadilan hari ini, masyarakat kita sering lupa bahwa sejarah pernah mencatat contoh keteladanan indah—di mana seorang pemimpin tidak menggunakan kekuasaan untuk melindungi, dan seorang kader tidak menggunakan aib sebagai peluru politik.
Inilah pelajaran yang nyaris terlupakan.
Inilah kisah SBY dan Andi Mallarangeng.
Inilah yang kita sebut: Pelajaran Luhur.
Ketika Politik Jadi Badai, Tapi Marwah Tetap Tegak
Di tengah zaman gaduh, ketika politik menjadi panggung balas dendam dan kekuasaan dipergunakan sebagai palu pemukul musuh, kisah ini justru menjadi oase yang menyejukkan. Ia adalah kisah tentang bagaimana seorang pemimpin tidak memperalat kekuasaannya, dan bagaimana seorang sahabat, menteri, dan kader partai menghadapi badai dengan kepala tegak, tanpa menyalahkan siapa pun.
Namanya Dr. Andi Alfian Mallarangeng—akademisi brilian, komunikator ulung, loyalis sejati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekaligus sosok yang akhirnya harus menghadapi vonis penjara dalam kasus Hambalang. Tapi inilah yang membedakan cerita ini dari kisah-kisah lain: tidak ada intervensi kekuasaan, tidak ada pembelaan manipulatif, tidak ada drama playing victim. Yang ada hanyalah kebijaksanaan dan kebesaran hati.
Ketika Kekuasaan Bisa, Tapi Tidak Digunakan
SBY kala itu adalah Presiden. Ia bisa saja mencampuri proses hukum. Ia punya kuasa. Tapi ia tidak melakukannya. Karena ia menyadari perbedaan antara “bisa” dan “boleh.”
SBY sebagai Presiden berkuasa penuh. Ia bisa melakukan apa saja. Tapi akal sehat dan nuraninya lebih berkuasa, dan keduanya menyatakan: itu tidak boleh.
Tak ada manuver diam-diam. Tak ada penggiringan opini. Tak ada pembelaan berlebihan di depan publik. Yang muncul justru sikap yang gentle, tenang, dan menghormati proses hukum. SBY memilih jalan yang berat bagi seorang pemimpin: melepaskan kekuasaan ketika ia bisa menyelamatkan loyalisnya.
Di sinilah letak perbedaan antara pemimpin negara dan penguasa politik. Yang pertama menjaga marwah institusi, yang kedua menjadikan hukum sebagai alat kelicikan.
SBY membuktikan bahwa “tidak cawe-cawe” bukanlah sikap pasif, tapi sikap dewasa. Ia memberi contoh bahwa pemimpin sejati justru diuji ketika sahabatnya dalam masalah—dan ia tidak menggunakan kekuasaan untuk menghapus kesalahan, apalagi mengaburkan hukum.
Sikap Jentelmen Seorang Andi Mallarangeng
Tak kalah mulia adalah sikap Andi Mallarangeng sendiri. Ia tidak menyalahkan siapa pun. Tak ada narasi bahwa ia dikorbankan. Tak ada konferensi pers menyayat-nyayat rasa. Yang ada hanya satu kalimat penuh kejantanan:
“Saya akan hadapi dan jalani.” Ia tahu risiko berada di kekuasaan. Ia tahu dunia politik tak selalu adil. Tapi ia memilih cara paling terhormat: bertanggung jawab dengan tenang dan tegar.
Bahkan ketika banyak pihak tahu bahwa dirinya tidak menikmati satu rupiah pun dari proyek itu, Andi tidak mencari kambing hitam. Ia tidak menyeret nama lain. Ia tidak mempermalukan institusi. Ia memilih jalan sunyi—jalan yang hari ini, sayangnya, semakin langka ditempuh.
Oposisi yang Buta dan Pendek Akal
Ironisnya, banyak tokoh oposisi kala itu justru membabi buta. Mereka menyerang seolah SBY-lah dalang atas segalanya. Mereka menyindir seakan Andi adalah tumbal. Padahal mereka tahu—dan diam-diam mengakui—bahwa kalau SBY mau, Andi bisa saja diselamatkan. Tapi SBY tidak memilih jalan itu.
Yang kini berteriak tentang kriminalisasi oposisi, dulu justru menutup mata terhadap pelajaran luhur yang ditampilkan oleh SBY dan Partai Demokrat. Karena saat itu, logika mereka dikendalikan oleh dendam, bukan keadilan.
Harga Jangka Pendek vs Warisan Jangka Panjang
Secara politik, sikap elegan ini memang “mahal.” SBY tidak menyelamatkan Andi, dan Partai Demokrat harus kehilangan sebagian daya elektoralnya. Tapi sejarah tidak bodoh. Ia mungkin diam, tapi ia tidak lupa. Ia mencatat.
Hari ini, ketika banyak pemimpin tergoda memperalat hukum demi kekuasaan, kisah SBY dan Andi Mallarangeng justru menjadi mercusuar nurani. Di tengah politik yang saling memakan, mereka pernah menunjukkan bahwa integritas lebih penting daripada manuver.
Dan di masa ketika orang berlomba-lomba memelintir fakta untuk mencari panggung, kisah ini mengajarkan bahwa diam yang bermartabat lebih kuat dari sorak yang kosong.
Integritas Tak Pernah Kedaluwarsa
Ada harga yang harus dibayar saat tidak menggunakan kekuasaan untuk melindungi teman. Dan ada rasa sakit yang harus ditelan ketika harus menjalani hukuman atas sesuatu yang tidak kita nikmati. Tapi justru itulah yang membuat kisah ini luhur: karena tidak semua pemimpin bisa menahan diri, dan tidak semua kader bisa tetap berdiri.
SBY dan Andi Mallarangeng telah memberi kita pelajaran penting: bahwa kekuasaan boleh besar, tapi lebih besar lagi adalah jiwa yang tahu kapan harus membiarkannya pergi.
Dan bagi kita yang masih percaya bahwa politik adalah bagian dari akhlak, bukan sekadar taktik, kisah ini akan terus hidup. Sebab integritas, sekali pun sunyi, tak pernah kedaluwarsa.