KABARINDO, Den Haag – Perserikatan Bangsa-Bangsa telah gagal dalam upayanya membuka negosiasi yang diharapkan dapat menghasilkan perjanjian internasional untuk mengatur penggunaan sistem senjata otonom, atau yang lebih dikenal sebagai “robot pembunuh”.
Harapan dan rencana PBB itu gagal tereksekusi karena ditentang oleh negara-negara pembuat senjata tersebut, termasuk oleh Rusia, India dan Amerika Serikat.
Senjata semi-otonom yang ada, seperti drone, memiliki “saklar pembunuh” yang dioperasikan manusia, sedangkan senjata yang sepenuhnya otonom menyerahkan keputusan hidup dan mati pada sensor, perangkat lunak, dan proses mesin.
Inilah yang menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, sehingga Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendorong 125 pihak dalam Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (CCW) untuk membuat “rencana ambisius” tentang aturan baru.
Akan tetapi pada hari Jumat (17/12), Konferensi Tinjauan Keenam CCW gagal menjadwalkan pembicaraan lebih lanjut seputar pengembangan dan penggunaan Sistem Senjata Otonom Mematikan (LAWS).
Negara-negara yang sudah banyak berinvestasi dalam pengembangan LAWS menghadiri pertemuan lima hari di Jenewa itu. Perwakilan mereka menghalangi mayoritas peserta konvensi dari menyetujui langkah-langkah yang bertujuan menetapkan aturan yang mengikat secara hukum tentang senjata yang dioperasikan dengan mesin.
Ditentang Banyak Pihak
“Pada tingkat kemajuan saat ini, laju perkembangan teknologi berisiko mengambil alih pertimbangan kami,” kata Duta Besar Perlucutan Senjata Swiss Felix Baumann, menyuarakan ketidakpuasan atas hasil panel antar pemerintah PBB, yang telah diadakan selama delapan tahun terakhir.
Enam puluh delapan negara telah menyerukan instrumen hukum di PBB sementara sejumlah LSM, termasuk Komite Palang Merah Internasional (ICRC) telah memerangi penyebaran senjata semacam itu, yang tidak diatur, dan mendorong peraturan baru.
Menteri Luar Negeri Austria Alexander Schallenberg dan Menteri Perlucutan Senjata dan Kontrol Senjata Selandia Baru Phil Twyford sama-sama menyerukan pengembangan undang-undang internasional baru yang mengatur senjata otonom. Perjanjian koalisi pemerintah baru Norwegia dan Jerman telah berjanji untuk mengambil tindakan atas masalah ini.
Verity Coyle, penasihat senior di Amnesty International, mengatakan “CCW sekali lagi menunjukkan ketidakmampuannya untuk membuat kemajuan yang berarti”.
Para pegiat sekarang percaya bahwa proses terpisah dari rangkaian pembicaraan PBB yang sudah berjalan lama mungkin diperlukan untuk memastikan kemajuan masa depan dalam masalah ini.
“Sekarang saatnya negara-negara yang berkomitmen memimpin proses eksternal yang dapat memberikan jenis terobosan yang sebelumnya kita lihat pada ranjau darat dan munisi tandan (bom klaster),” kata Coyle, menambahkan bahwa peluang untuk mengatur semakin kecil.
Richard Moyes, koordinator di Stop Killer Robots, mengatakan pemerintah “perlu menarik garis moral dan hukum bagi kemanusiaan terhadap pembunuhan orang dengan mesin”.
“Sebagian besar negara memandang penting akan kontrol manusia yang berarti dalam penggunaan kekuatan. Saatnya sekarang bagi mereka untuk memimpin untuk mencegah konsekuensi bencana kemanusiaan dari robot-robot pembunuh, ”kata Moyes. ***(Sumber: Reuters, Aljazeera; Foto: Aljazeera, Twitter)