Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Berita Utama > Para Pencari Kebenaran

Para Pencari Kebenaran

Berita Utama | 22 jam yang lalu
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
Para Pencari Kebenaran

Oleh: M. Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
     
    Sejak pra-Islam (zaman jahiliyah), di kalangan orang Arab yang suka berpikir, sudah biasa melakukan kontemplasi. Berkhalwat, mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi. Orang Arab menyebutnya _tahannuts_ . Mereka merenung, berdoa, mengharapkan jawaban atas kegelisahan atau penyelesaian masalah yang sedang dihadapi.

Di kalangan masyarakatnya, Muhammad adalah orang paling banyak berpikir (Haekal, _Sejarah Hidup Muhammad_, 1984). Setiap Ramadhan, mendekati usia 40 tahun, Muhammad ber-tahannuts  di Gua Hira, di celah sempit di tebing curam di Jabal Nur. Jarak rumah Muhammad ke Gua Hira sekitar 6 kilometer arah utara kota Mekkah. Muhammad tengah menapaki jalan spiritualnya.


     Dalam kehidupan, Muhammad baik-baik saja. Hidup tenang bersama Khadijah, sosok pendamping dan penyokong utama. Mereka telah dkaruniahi anak-anak: Qasim, Abdullah, Zainab, Rukayyah, Ummu Kulsum, dan Fatimah. Namun, kesedihan menimpa Muhammad dan Khadijah ketika dua anak lelaki mereka meninggal. Orangtua mana yang tak sedih ditinggal dua anak lelaki.

Dalam tradisi Arab, anak lelaki adalah kebanggaan. Khadijah merasakan kepedihan mendalam. Ia pun membawa sesajen dan menyembelih hewan untuk berhala-berhala di Ka’bah: Hubal, Lata, Uzza, Manah. Seperti orang Quraisy umumnya, ia menebus musibah yang dialaminya. Namun, kurban-kurban itu tidak berguna sama sekali. Semua berhala tidak dapat memberi jawaban. 


    Di Gua Hira, Muhammad bertirakat. Ia merenungi masyarakat Mekkah dengan sesembahannya. Memikirkan omongan orang-orang Yahudi dan Kristen yang mengejek sesembahan orang Quraisy. Penuh kegelisahan. Dalam permenungannya, ia mulai menyadari kepercayaan masyarakatnya pada berhala-berhala itu adalah cara yang salah, jalan sesat.  


    Persis di usia 40 tahun, di bulan Ramadhan, dalam _tahannuts_-nya, didatangi Malaikat Jibril yang membawakan wahyu Allah. “Bacalah!” kata Jibril.  Muhammad terkesiap, “Saya tak dapat membaca.” Tubuhnya serasa terjepit karena Jibril mendekapnya. “Bacalah!” Jibril mengulangi. “Apa yang akan saya baca?” jawab Muhammad. Jibril melanjutkan, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Wahyu pertama turun.


    Sekejap kemudian Jibril pergi. Muhammad ketakutan: apa yang terjadi? Apakah dirinya kesurupan? Apakah dirinya menjadi paranormal yang dikenal sebagai kahin (dukun), majnun (orang gila), dan sahir (penyihir)?
 

Membingungkan! Tubuhnya gemetaran. Cepat-cepat pergi dari gua khawatir akan terjadi sesuatu lagi. Menuruni bukit batu yang tajam dan terjal dengan perasaan cemas. Jantungnya berdegub keras. Namun, dalam pikirannya sudah terpatri apa yang disampaikan Jibril. 


    Sesampai di rumah, Muhammad meminta Khadjiah, “Selimuti aku!” Tubuhnya menggigil. “Khadijah, kenapa aku?” tanyanya. Khadijah yang selama ini selalu menenangkannya, justru tak khawatir, “Tidak, bergembiralah. Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu.

Sesungguhnya engkau adalah orang yang paling suka menyambung tali silaturahim, berkata jujur, menanggung beban, menghormati tamu, dan membantu menegakkan pilar-pilar kebenaran” (_Tafsir Ibnu Katsir_, 2004). Peran Khadijah sangat besar dalam kehidupan Muhammad, baik secara psikologi maupun dalam perjuangan dakwah Islam selanjutnya. 


    Khadijah lalu bertanya pada Waraqah bin Naufal, sepupunya, atas peristiwa itu. Waraqah adalah penganut Kristen/Nasrani, yang menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. Begitu mendengar cerita Khadijah, Waraqah tercenung sejenak. “Maha Kudus, Maha Kudus Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Khadijah, percayalah dia telah didatangi Namus Besar seperti yang pernah mendatangi Musa. Sungguh dia adalah nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah,” kata Waraqah. Namus sebutan untuk Jibril.


    Ini tonggak penting transformasi bangsa Arab yang jahiliyah. Penting juga melihat bagaimana konstelasi dan kondisi kebatinan masyarakat Quraisy kala itu. Sejak Muhammad memimpin pemindahan batu hitam (hajar aswad) saat renovasi Ka’bah, sebetulnya peta kekuasaan sudah bergeser.

Muhammad menjadi pusat kekuasaan baru, meruntuhkan _status quo_ yang dipegang klan-klan berkuasa seperti Hasyim, Abd’d-Dar, ‘Adi, Makhzum, Abdus Syam, Naufal. Semuanya nenek moyang Muhammad dari jalur Qushay.


     Qushay membawa Quraisy menetap di Mekkah sekitar abad ke-5. Quraisy menguasai Mekkah setelah menyingkirkan hegemoni suku Khuza’ah. Quraisy pun mengambil alih sebagai penjaga Ka’bah. Mekkah terus berkembang karena berada di jalur perdagangan antara Yaman dan Syam. Tetapi klan-klan Quraisy sering berkonflik. Friksi politik lebih banyak pada rebutan kuasa atas Ka’bah, rumah pemujaan purba. Abrahah, Gubernur Abisinia (Habsyah) di Arab Selatan (Yaman), sekutu Romawi Timur (Byzantium), juga iri melihat Ka’bah yang jadi pusat perhatian.

Ia pun mendirikan kuil Kristen di Sana’a, untuk menandingi Ka’bah. Ketika ia menyerbu Mekkah dan ingin meruntuhkan Ka’bah, Abrahah dan pasukan gajahnya dihancurkan Allah, terabadikan dalam Al-Quran (QS. Al-Fil: 1-5) Kekalahan pasukan Abrahah membuat orang Quraisy makin memuja berhala-berhala mereka. 

     Sebetulnya pada masa-masa itu, sebagian orang Arab telah menemukan agama Ibrahim (Armstrong, _Muhammad Sang Nabi_, 2002). Ada beberapa _hanif,_ para pencari kebenaran. Mereka menolak peribadatan menyembah berhala yang dilakukan masyarakat Quraisy. Para hanif itu, adalah Zaid bin Amir, Usman bin Huwairith, Ubaidillah bin Jahsy, dan Waraqah bin Naufal. 


    Zaid diusir dari Mekkah. Saudara tirinya, Khattab (ayah Umar) menyuruh anak-anak muda  mencegah Zaid kembali. Akhirnya ia berkelana ke Irak dan Suriah. Bertanya pada pendeta dan rahib tentang agama Ibrahim. Seorang pendeta mengatakan bahwa nabi akan muncul di Mekkah. Ia segera bergegas pulang, tetapi di perbatasan Suriah ia diserang dan terbunuh. Zaid adalah pengkritik keras penyembah berhala.

Di antara orang-orang Quraisy yang sedang  memutari Ka’bah, ia berkata, “Wahai Quraisy, demi Dia yang ada di tangannya-Nya terletak jiwa Zaid, tak seorang pun dari kalian mengikuti agama Ibrahim kecuali aku.” Lalu, ia bersandar di dinding Ka’bah, dan meratap, “Ya Tuhan kalau aku tahu dengan cara bagaimana yang Engkau sukai aku menyembah-Mu, tentu akan kulakukan.”


     Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah, adalah penganut Kristen yang sudah disebutkan di atas. Usman juga kerabat Khadijah, memeluk Kristen. Dia dekat dengan lingkaran istana Byzantium dan berencana menguasai Mekkah tapi diusir oleh penduduk Mekkah. Ubaidillah bin Jahsy sempat Muslim, tapi setelah hijrah pertama ke Abisinia (kini Ethiopia dan Eritrea), berpindah ke Kristen. Istrinya, Ummu Habibah tetap Muslim, yang kelak menjadi istri nabi. 

    Muhammad dipilih Allah untuk menyebarkan risalah kebenaran. Di rumah, Muhammad masih berselimut. “Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan!... (QS Al-Muddatstsir: 1-5). Sampai tahun 2025, peringatan kebenaran yang hakiki itu sudah menerangi dunia dan langit selama 1.415 tahun. Tetapi, hari ini tidak sedikit di antara kita yang melihatnya lebih pada peringatan untuk akhirat nanti, bukan untuk dunia saat ini.

Spririt Islam lebih terasa di tempat ibadah, tidak terinternalisasi dalam perilaku sehari-hari. Kita mengaku Islam, tetapi sering kali jauh dari nilai-nilai Islami. Seakan-akan Islam hanya untuk kematian. Padahal Islam adalah keseimbangan dunia-akhirat. 


TAGS :
RELATED POST


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER