KABARINDO, JAKARTA — Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi (Kosmak) mendorong Komisi III DPR RI untuk segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) dan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait penanganan perkara Zarof Ricar. Dalam surat tertanggal 23 Juli 2025 yang ditujukan kepada Ketua Komisi III DPR, Kosmak menyoroti indikasi kuat adanya dugaan korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga tindakan menghalangi penyidikan dalam proses hukum yang ditangani oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah.
Empat Klaster Pihak yang Harus Dipanggil
Kosmak mengidentifikasi empat klaster pihak yang relevan dan dinilai perlu dipanggil oleh Panitia Khusus DPR:
-
Klaster Terduga Pemberi Suap
Gunawan Yusuf dan Ny. Purwanti Lee, pemilik Sugar Group Company (SGC), diduga memberikan suap untuk memenangkan perkara perdata melawan Marubeni Corporation. -
Klaster Terduga Penerima Suap
Beberapa nama disebut sebagai penerima suap, antara lain Hakim Agung Sunarto, Soltoni Mohdally, Syamsul Ma’arif, dan Suharto. -
Klaster Perantara atau Makelar Kasus
Zarof Ricar dan putranya, Ronny Bara Pratama, diduga menjadi perantara suap antara pihak pemberi dan penerima. -
Klaster Aparat Penegak Hukum (APH)
Jampidsus Febrie Adriansyah dan Jaksa Penuntut Umum Nurachman Adikusumo diduga terlibat dalam penyalahgunaan wewenang dengan tidak menjerat pelaku suap secara utuh.
Indikasi Penggelapan Barang Bukti
Koordinator Kosmak, Ronald Loblobly, mengungkap adanya dugaan penggelapan barang bukti uang tunai. Dalam proses penggeledahan rumah Zarof Ricar di kawasan Senayan, Jakarta Selatan pada 24 Oktober 2024, Kejaksaan mengklaim hanya menemukan Rp920 miliar dan 51 kg emas. Namun, kesaksian anak Zarof, Ronny Bara Pratama, dalam persidangan menyebutkan bahwa jumlah sebenarnya mencapai Rp1,2 triliun — bahkan diduga total barang bukti yang disita sebenarnya mencapai Rp1,6 triliun.
“Dugaan adanya selisih senilai Rp680 miliar menjadi perhatian serius. Hal ini memperkuat indikasi bahwa terdapat praktik gelap dalam penanganan perkara ini,” kata Ronald, Rabu (19/8/2025).
Pasal Suap Tidak Diterapkan: Ada Apa?
Ronald menyatakan bahwa dakwaan yang dijatuhkan kepada Zarof Ricar hanya mencakup gratifikasi, bukan suap. Padahal, dalam pemeriksaan dan persidangan, Zarof secara terbuka mengaku menerima Rp50 miliar dan Rp20 miliar dari Ny. Purwati Lee sebagai bentuk suap untuk mempengaruhi putusan kasasi.
Ia menduga pasal suap sengaja tidak digunakan demi menyelamatkan pihak pemberi suap, termasuk Ny. Purwati Lee dan Gunawan Yusuf, serta untuk melindungi hakim agung yang diduga menerima suap. Penundaan pemeriksaan dan penggeledahan terhadap pihak SGC selama enam bulan sejak penangkapan Zarof, juga dianggap tidak wajar.
Kecurigaan Motif Politik dan “Sandera Hukum”
Kosmak menilai bahwa kasus ini sarat kepentingan. Pasal suap yang seharusnya dikenakan, justru dihindari. Menurut Ronald, hal ini bukan hanya untuk melindungi pihak tertentu, tetapi juga menciptakan situasi di mana Ketua MA Sunarto dan sejumlah hakim agung bisa disandera secara politik dan hukum.
“Ini bisa digunakan sebagai alat tawar agar putusan-putusan dalam perkara korupsi kontroversial, termasuk yang disidik oleh Pidsus, bisa dikondisikan. Kasus seperti Tom Lembong yang mendapat abolisi dari Presiden Prabowo pun patut dilihat dalam konteks ini,” ujar Ronald.
Asal Muasal Konflik: Utang Triliunan kepada Marubeni
Permasalahan hukum ini berakar dari konflik utang-piutang antara Sugar Group Company (SGC) dan Marubeni Corporation. Pada 2001, PT GPA, perusahaan milik Gunawan Yusuf, membeli SGC dari Salim Group dengan nilai Rp1,161 triliun dalam kondisi "apa adanya". Namun, kemudian Gunawan Yusuf menolak membayar utang SGC kepada Marubeni dengan dalih utang tersebut adalah hasil rekayasa.
Dalih tersebut dibantah dalam putusan kasasi Mahkamah Agung tahun 2010 yang menegaskan bahwa SGC tetap berkewajiban membayar utang tersebut. Namun, alih-alih mematuhi putusan tersebut, Gunawan Yusuf mengajukan gugatan baru — dengan materi pokok serupa — yang diduga sarat manipulasi.
Putusan-Putusan Janggal di Mahkamah Agung
Kosmak menyoroti sejumlah putusan kasasi dan peninjauan kembali yang dianggap janggal karena selalu memenangkan pihak SGC, meski bertentangan dengan putusan sebelumnya yang telah inkracht. Beberapa putusan tersebut dipimpin oleh hakim agung yang juga disebut dalam dugaan suap.
Zarof Ricar, meskipun telah pensiun pada 2022, terlihat kembali muncul dalam kegiatan bersama Ketua MA Sunarto, yang memperkuat dugaan kedekatan personal dan profesional di balik penanganan perkara ini.
Penegakan Hukum yang Selektif dan Sarat Kepentingan
Kosmak menilai bahwa lemahnya penegakan hukum dalam kasus ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk nyata dari praktik mafia hukum yang melibatkan unsur internal Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
Ronald menutup pernyataannya dengan mendesak DPR segera membentuk Panitia Khusus agar proses hukum terhadap semua pihak yang terlibat — baik pemberi maupun penerima suap — dapat dituntaskan secara transparan dan berkeadilan.
“Momentum ini sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap hukum dan institusi penegaknya. Jika tidak segera dibenahi, kerusakan sistemik ini bisa menghancurkan fondasi hukum di Indonesia,” pungkasnya.