Oleh: Didi Irawadi Syamsuddin, S.H., LL.M.
Lawyer, dan Politikus
Sebagai wakil rakyat dari Jawa Barat (2009-2024) saya merasa prihatin dan kecewa melihat Bandara Kertajati yang kini menjadi simbol gagalnya perencanaan strategis pemerintah pusat. Proyek yang seharusnya membawa manfaat ekonomi bagi warga Jabar justru berubah menjadi beban fiskal dan kebijakan yang tak berpijak pada realitas.
Di masa Presiden SBY, proyek ini dihentikan karena hasil feasibility study menunjukkan tidak layak dibangun. Tapi di era Presiden Jokowi, logika perencanaan tergantikan oleh logika ambisi. Kertajati dibangun megah dengan dana triliunan, sebagian dari utang negara, namun kini sepi penumpang dan minim penerbangan. Bandara yang seharusnya menjadi kebanggaan justru menjadi monumen kegagalan & pemborosan.
Yang lebih ironis, ketika hasilnya jauh dari harapan, pemerintah pusat menyerahkan beban operasional kepada Pemda Jawa Barat. Ini seperti menyerahkan hadiah yang tak bisa dipakai, tapi harus tetap dibayar pajaknya oleh rakyat. Saya melihat kebijakan semacam ini tidak adil dan jauh dari prinsip akuntabilitas publik.
Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Marves mungkin bisa membanggakan proyek ini di atas kertas, namun fakta di lapangan berbicara lain. Tanpa perhitungan matang, infrastruktur hanya menjadi simbol politik — bukan instrumen kemajuan.
Kertajati adalah contoh nyata ketika pemerintah lebih sibuk membangun citra, bukan kebutuhan.
Indonesia tak kekurangan beton, tapi kekurangan arah. Pembangunan sejati bukan tentang jumlah proyek yang diresmikan, melainkan seberapa besar manfaat yang benar-benar dirasakan rakyat. Kertajati mestinya menjadi pelajaran mahal agar perencanaan nasional ke depan lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat — bukan pada ambisi pribadi.





