KABARINDO, JAKARTA - Pengamat Kelautan, Abdul Halim, meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengantisipasi potensi monompoli kuota penangkapan ikan.
"Monopoli kuota perikanan pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan baru di sektor perikanan," ujar Abdul Halim
"Dengan dijualnya kuota perikanan (dari nelayan kecil ke pihak industri yang lebih besar), maka risiko munculnya tindak pidana kejahatan di sektor perikanan rentan terjadi," kata Abdul Halim menambahkan.
Potensi monopoli bisa berisiko menimbulkan diskriminasi perlakuan kepada warga negara, khususnya mereka yang merupakan nalayan tradisional.
Monopoli perikanan juga bisa berdampak pada privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir.
"Jika hal ini terjadi, nelayan kecil kehilangan aksesnya ke laut dan aksesnya untuk menangkap ikan di laut sebagai mata pencaharian," katanya.
Dalam penerapan kebijakan penangkapan terukur sosialisasi Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) harus dimaksimalkan.
RZWP3K harus tersosialisasikan kepada masyarakat perikanan, terutama yang berskala kecil. Menurut Abdul, konsep ini meniru seperti yang dilakukan di kawasan Uni Eropa.
"Sebetulnya tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, karena spirit kita adalah gotong-royong. Gotong-royong itu dicirikan oleh semangat untuk saling membantu, tidak mendiskriminasi dan menindas, serta dilatari oleh rasa senasib dan seperjuangan. Kuota perikanan bertolak dari semangat individualisme," paparnya.
KKP akan melakukan kebijakan penangkapan terukur dengan memberlakukan zonasi di 11 wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Zona penangkapan ikan berbasis kuota terletak antara lain terdapat di Laut Natuna, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Sulawesi, Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor bagian Timur, laut Sawu, kawasan perairan Samudera Hindia, dan kawasan perairan Samudera Pasifik.
Sumber: Antara
Foto: Antara