Oleh: Didi Irawadi Syamsuddin, S.H., LL.M.
Lawyer, Politisi.
Di era Jenderal Listyo Sigit Prabowo, kepolisian kita tampak lebih sering sibuk memadamkan api yang justru berasal dari dalam tubuhnya sendiri, ketimbang menjaga rasa aman masyarakat.
Tahun demi tahun, publik disuguhi deretan skandal besar yang mencoreng Polri: tragedi Kanjuruhan, drama Sambo, narkoba ala jenderal Teddy Minahasa, gagal ungkap kasus KM 50, hingga kasus-kasus kecil yang baru ditindak setelah viral di media sosial. Bukannya tampil sebagai pengayom, Polri di bawah kepemimpinan Listyo justru menghadapi begitu banyak masalah internal yang menambah buruk citra polisi.
Ratusan nyawa melayang di Stadion Kanjuruhan akibat gas air mata yang ditembakkan di ruang sempit; seorang ajudan ditembak mati dalam drama penuh intrik di lingkaran elit kepolisian; seorang jenderal bintang dua terjerat kasus menjual barang bukti narkoba; enam anggota ormas tewas ditembak di jalan tol KM 50 dalam kasus yang penuh tanda tanya dan hingga kini tak pernah benar-benar tuntas; hingga sejumlah perwira bermasalah yang ironisnya justru dipromosikan. Di mana letak reformasi yang dijanjikan?
Tragedi terbaru bahkan menambah luka: seorang pengemudi ojek online meregang nyawa setelah tergilas kendaraan taktis barakuda saat unjuk rasa. Nyawa rakyat seolah begitu murah di mata aparat. Padahal, ojek online adalah potret pekerja kecil yang mencari rezeki halal setiap hari. Kejadian ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan gambaran telanjang bagaimana kepolisian bisa kehilangan empati dihadapan rakyatnya sendiri.
Tidak berhenti di situ: masih terjadi kasus-kasus korupsi yang menyeret perwira tinggi, hingga pola lama penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik, semuanya kian mempertebal krisis kepercayaan publik terhadap Polri.
Di tengah semua itu, jargon manis Presisi, humanis, responsif yang kerap diucapkan Kapolri terdengar makin hampa. Karena di lapangan, yang benar-benar responsif hanyalah gas air mata, peluru karet, kendaraan taktis, dan pasal karet.
Kapolri seharusnya menjadi pagar terakhir tempat rakyat mencari perlindungan dan keadilan. Kini, pilihannya hanya dua: Listyo berani memperbaiki borok institusinya sendiri secara serius, atau tetap memilih jalan aman dengan terus menambal citra yang retak. Tetapi sejarah tidak menulis jargon. Sejarah menulis kegagalan. Karena itu, langkah paling terhormat sekaligus paling logis justru sederhana: Kapolri harus mundur.