KABARINDO, JAKARTA - Sampah makanan kini menjadi masalah dunia karena memicu problem besar yang mengkhawatirkan. Karena bertanggungjawab atas 10% emisi gas rumah kaca yang membahayakan bumi, sampah jenis ini merupakan penyumbang signifikan terhadap krisis iklim.
Ribuan di berbagai daerah. Anggota komunitas ini pun terbilang cukup melek dengan teknologi dan memiliki keinginan belajar yang cukup tinggi. Lewat komunitas ini, Swan berharap pemahaman soal manajemen sampah makanan bisa menyebar luas. “Kami juga sudah merancang purwarupa situs Internet yang di dalamnya berisi aneka informasi, edukasi, serta yang terpenting, resep-resep makanan dari bahan-bahan pangan yang selama ini kerap terbuang, seperti misalnya kulit pisang.”
Sementara itu, mahasiswa Prasmul lainnya dari Program Studi Ekonomi Bisnis, Ethelind B. Santoso bersama tim menghadirkan konsep “No Action Too Small”. Konsep ini hampir mirip dengan program edukasi yang diusung Swandewi. Bedanya, Ethelind dan kawan-kawan menyasar para pelaku usaha kecil dan pedagang kaki lima penjual makanan sebagai target edukasi mengenai manajemen sampah makanan.
Edukasi yang disampaikan tim Ethelind dan kawan-kawan juga berupa informasi mengenai perlunya mengelola sampah makanan, resep-resep makanan dari bahan-bahan organik yang kerap terbuang, seperti perkedel tanpa sisa yang mengandung cincangan daun wortel, kulit kentang, dan irisan bonggol seledri. Selain itu, bagian dari edukasi tersebut juga memperkenalkan cara menumbuhkan kembali beberapa jenis sayuran tertentu seperti daun bawang dari bonggolnya yang gundul. “Selain rumah tangga, penjual makanan juga menjadi kontributor sampah sisa makanan terbesar di Indonesia. Melalui program ini kami berharap dapat memberikan informasi dan mengajak mereka untuk mengubah perilaku dalam menangani sampah makanan.”
Namun, Ethelind bercerita, dalam praktiknya, edukasi tersebut kerap menemui hambatan saat disampaikan kepada target mereka. “Karena isu sampah makanan masih dianggap asing terutama di kalangan para penjual makanan.” Namun Ethelind cukup optimistis, konsep ini ke depannya dapat dikembangkan menjadi platform edukasi yang bisa menjangkau masyarakat lebih luas. Di sisi lain, Ethelind juga mengembangkan konsep baru untuk mengurangi potensi sampah makanan.
“Konsep baru yang saya kembangkan sebetulnya sederhana, berupa program Bazar Hortikultura untuk menjual sayur-mayur atau buah-buahan, yang biasanya dibuang oleh toko dan pedagang di pasar karena dianggap sudah terlalu matang dan penampilannya tidak menarik,” Ethelind bercerita. Konsep ini rencananya akan ia kembangkan berkolaborasi dengan jaringan retail atau toko-toko yang menjajakan sayur dan buah segar. “Saya ingin membuat gerakan hari obral buah atau sayur secara rutin di toko-toko. Di mana konsumen dapat mencampur jenis-jenis sayur dan buah yang penampilannya dianggap jelek tapi padahal masih layak konsumsi dengan harga murah meriah.”
Aneka konsep yang diusung para mahasiswa Prasetiya Mulya ini, kendati tak murni berupa ide bisnis, namun menurut Wisnu Wijaya, tetap potensial untuk dikembangkan dan direalisasikan di kemudian hari. “Di Prasmul, sejak awal kami mendorong mahasiswa untuk mencari dan merancang berbagai ide baik bisnis komersial, maupun gerakan sosial yang dapat berdampak luas bagi masyarakat. Bagi para mahasiswa, ide-ide ini pun selalu diselaraskan dengan kurikulum yang diajarkan dan mereka dapat mengembangkan idenya menjadi tugas akhir.”
Adapun, setelah sukses menggelar rangkaian acara tingkat internasional bagi para mahasiswa kampus anggota konsorsium In2Food, rencananya pada Februari 2023, konsorsium juga akan mengadakan kegiatan serupa dengan sasaran peserta lebih luas. “Pada tahun depan kami akan menggelar acara kompetisi mahasiswa dengan tema soal manajemen sampah makanan, dan terbuka bagi para mahasiswa dari kampus lain, baik dalam maupun luar negeri,” pungkas Wisnu.