KABARINDO, JAKARTA - Buntut panjang kasus kerja paksa di Malaysia yang menimpa Lastri (53) dan anaknya Nur Kholifah (21).
Kementerian Luar Negeri RI mendesak Pemerintah Malaysia untuk memberi hukuman tegas kepada majikan atau pemberi kerja bagi para migran ilegal.
Lastri dan Nur Kholifah merupakan warga Desa Bogorego, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Mereka bekerja di Malaysia sejak tahun 2019. Keduanya bekerja selama 24 jam sehari dan tidak pernah menerima gaji.
Direktur perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI), Judha Nugraha menjelaskan jika kedua warga yang merupakan ibu dan anak adalah korban perdagangan orang di Malaysia.
“Kita mendorong penegakan hukum tegas terhadap pelaku-pelaku yang memberangkatkan pekerja migran Indonesia dengan modus tindak perdagangan orang tersebut dan mendesak Malaysia untuk melakukan tindakan tegas ke majikan-majikan yang mempekerjakan pekerja migran Indonesia undocumented, bahkan melakukan pola kerja paksa ke pekerja migran dengan hukuman yang setimpal,” ujar Judha dalam press briefing yang diadakan secara daring, Kamis (3/2/2022).
Pemberi kerja tehadap imigran ilegal ini bisa dijerat hukum karena telah tertuang dalam UU Imigrasi Malaysia tahun 1959.
Judha mengungkapkan, kejadian yang menimpa Lastri dan Nur Kholifah ini merupakan fenomena gunung es akibat maraknya pemberangkatan pekerja migran secara ilegal.
Tindak perdagangan orang dengan motif pemberangkatan pekerja migran ini dilakukan dengan berbagai modus, seperti memberi janji penipuan dengan upah tinggi dengan pekerjaan yang tidak realistis di Malaysia. Ada juga jeratan utang dalam bentuk keluarga mendapatkan uang di awal.
“Berangkat ke Malaysia dengan sttaus pekerja migran undocumented, disertai pola pemberangkatan dengan modus tindak perdagangan ornag membuat mereka dalam posisi rentan dan tereksploitasi di Malaysia, ini yang dialami Ibu Lastri dan anaknya Nur Kholifah,” kata Judha.
Judha mengatakan, untuk saat ini Pemerintah Indonesia dan Malaysia masih membahas kota kesepahaman (MoU) mengenai penempatan dan perlindungan pekerja di sektor domestik.
MoU itu sendiri sebelumnya telah disepakati antara Indonesia dengan Malaysia pada tahun 2006 dan diperpanjang tahun 2011, dan telah habis berlakunya sejak 2016. Kini, Indonesia sedang melakukan negoisasi kepada Malaysia agar MoU bisa menjadi dasar penempatan dan perlindungan pekerja migran di negaranya.
Namun, hingga kini proses negosiasi masih belum ditemui titik terangnya.
“Masih ada beberapa pending issue yang belum disepakati Indonesia dan Malaysia. Antara lain kita meminta Malaysia dapat menghapus System Maid Online, sistem rekrut langsung yang mem-by pass UU Nomor 18 tahun 2017 kita. Sehingga, pekerja migran sektor domestik bisa berangkat ke Malaysia melalui prosedur yang benar,” ujar Judha.
Sumber: Kompas.com
Foto: KOMPAS.com/MUTIA FAUZIA