KABARINDO, San Francisco/London - Pengungsi Rohingya di Amerika Serikat dan di Inggris telah menggugat raksasa media sosial Facebook sebesar $150 miliar (lebih dari Rp. 2 kuadriliun) atas klaim bahwa jejaring sosial tersebut gagal membendung ujaran kebencian di platformnya, sehingga memperburuk kekerasan terhadap minoritas Myanmar yang teraniaya.
Pengaduan yang salah satunya diajukan di pengadilan California menyatakan algoritma yang menggerakkan perusahaan yang berbasis di AS itu mempromosikan disinformasi dan pemikiran ekstrem yang diterjemahkan ke dalam kekerasan di dunia nyata.
“Kenyataan yang tak terbantahkan adalah bahwa pertumbuhan Facebook, yang dipicu oleh kebencian, perpecahan, dan kesalahan informasi, telah menyebabkan ratusan ribu nyawa Rohingya hancur setelahnya.”
Mereka mengutip posting Facebook yang muncul dalam penyelidikan oleh kantor berita Reuters, termasuk satu pada tahun 2013 yang menyatakan: "Kita harus melawan mereka seperti yang dilakukan Hitler terhadap orang-orang Yahudi."
Posting lain mengatakan: "Tuangkan bahan bakar dan nyalakan agar mereka dapat bertemu Allah lebih cepat."
Kelompok mayoritas Muslim menghadapi diskriminasi yang meluas di Myanmar, di mana mereka dihina sebagai penyelundup meskipun telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.
Diperkirakan 10.000 Muslim Rohingya tewas selama penumpasan militer di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha pada tahun 2017.
Pada 2018, Facebook mengakui mereka tidak melakukan cukup tindakan untuk mencegah hasutan kekerasan dan ujaran kebencian terhadap Rohingya. Namun hingga berita ini diturunkan, Facebook, yang sekarang bernama Meta, belum menanggapi tuntutan tersebut.
*** (Foto: Opinio Juris)