Eksil Jadi DokuDrama Kemanusiaan, Kisahkan Pengalaman Kelam Orang Indonesia di Luar Negeri
Karya Lola Amaria, kisahkan kehidupan mereka yang tinggal di luar negari sebagai eksil (exile) paska peristiwa G 30 S 1965
Surabaya, Kabarindo- Menjadi orang buangan atau eksil (exile) di luar negeri pasca peristiwa G 30 S sangat menderita dan pahit. Mereka tak bisa kembali ke Indonesia dan terputus hubungan dengan keluarga.
Hal ini dialami sejumlah orang yang dulu berasal dari Indonesia, termasuk Chalik Hamid, yang kini tinggal di Belanda. Ia anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), ormas onderbouw PKI dan Ketua PPI di Albania.
Chalik menuturkan, dulu ia dikirim oleh Presiden Soekarno untuk belajar sastra di Albania. Pasca perisitiwa G 30 S, ia tak bisa pulang. Bahkan ketika ibu dan ayah serta abangnya meninggal, ia juga tak boleh pulang ke Indonesia. Pasca perang di Albania, Chalik pindah ke Belanda dan kini telah menjadi warga Belanda. Hampir 30 tahun, ia tak pernah pulang ke Indonesia.
“Meskipun saya sudah jadi warga negara Belanda, tapi pikiran saya tetap ada di Indonesia,” tutur Chalik Hamid dalam obrolan dengan Lola Amaria di XXI Epicentrum saat nobar Eksil baru-baru ini untuk penggalangan dana bagi Palestina.
Kisah para eksil tersebut kemudian diangkat ke dalam film berjudul Eksil karya Lola Amaria yang menjadi sutradara sekaligus produser. Ada 10 eksil di Belanda, Jerman, Tiongkok, Ceko, Slovakia, Swedia dan Albania yang menjjadi nara sumber Eksil yang berdurasi 119 menit dan diklasifikasi oleh LSF untuk 13 tahun ke atas.
“Saya harus cepat membuat film ini, karena beberapa eksil sudah meninggal atau sakit tua. Dua tahun lebih saya merampungkan Eksil yang dibantu Shalahuddin Siregar sebagai penyunting gambar,” tutur Lola dalam rilis yang diterima pada Sabtu (9/12/2023).
Akhirnya hanya beberapa eksil yang berhasil diwawancarai Lola tentang kisah perjuangan dan sepak terjang mereka selama mengembara dari satu negara ke negara lain. Mereka adalah Asahan Alham Aidit, Sarjio Mintardjo, I Gede Arka, Tom Ilyas dan Hartoni Ubes.
“Ada eksil yang curiga dan saya dituding agen intelijen Soeharto atau siapa lah. Tapi saya jelaskan bahwa saya hanya khusus membuat film tentang mereka dan film ini juga didukung organisasi Amnesty International Indonesia dan individu-individu pegiat hak asasi manusia,” papar Lola.
Lola mengaku prihatin terhadap nasib para eksil pasca peristiwa G 30 S akibat stigma komunis yang melekat pada diri mereka. Ia menuturkan, kehidupan mereka benar-benar pahit berkepanjangan. Paspor dicabut, status kewarga-negaraan hilang, bahkan status kekerabatan dengan sanak saudara juga hilang. Mereka bekerja serabutan di luar negeri, di luar keilmuan dan keahlian. Mereka berjuang untuk hidup dengan bepindah-pindah negara.
“Mereka terus diintimidasi dan ditakuti. Dicap komunis dan harus pro Orde Baru dan Soeharto. Padahal tidak semua anggota PKI. Mereka Soekarnois, pendukung Soekarno. Para eksil ini ada yang tugas belajar dan dikirim oleh Soekarno ke luar negeri,” ujar Lola.
Ia mengungkapkan, ia membuat Eksil menurut versil lain, karena sejak SD, SMP sampai SMA hanya tau film Pemberontakan G 30 S/PKI yang wajib tonton pada masa Orba. Ia tak khawatir jika Eksil diprotes dan dilarang diputar karena persoalannya cukup peka .
“Silakan. Ingat lho. Ini era reformasi, era keterbukaan. Jangan ditutupi terus, Ini sebuah karya yang dilihat dari perspektif berbeda,” ujarnya.
Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, mendukung pembuatan film Eksil. Ia mengatakan, cinta para eksil tersebut kepada tanah air Indonesia tak perlu diragukan lagi, Ia mengapresiasi Presiden ke-4 RI, Gus Dur, yang mengajak para eksil pulang ke Indonesia.
Karya Lola membuahkan hasil yang manis. Eksil berhasil meraih Piala Citra sebagai film dokumenter terbaik di FFI 2023.