Kemarau panjang yang menimpa Bani Israil terjadi berulang kali. Tanah kering kerontang. Tandus! Tentu mustahil bisa ditanami tumbuh-tumbuhan. Mengadulah Bani Israil kepada Nabi Musa untuk meminta hujan. Musa pun memimpin umatnya berdoa kepada Allah. Untuk turun hujan umat Musa pun bertobat. Sudah berdoa tetapi hujan tidak kunjung turun. Wajah-wajah kecewa pun bermunculan.
Musa juga bertanya-tanya mengapa doanya kali ini tidak dikabulkan. Pesan Allah bahwa ada satu orang tidak mau bertobat. Padahal ia melakukan kemaksiatan selama 40 tahun. Orang itu akan dikeluarkan dari barisan umat atau ia bertobat. Bisa jadi malu kalau ketahuan berbuat maksiat, akhirnya orang itu pun bertobat. Setelah itu Allah menurunkan hujan.
Riwayat zaman Nabi Musa itu memberi pelajaran bahwa akibat ulah seseorang dampaknya ke semua orang. “Gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga,” kata peribahasa. Begitulah orang yang cuma mementingkan diri sendiri. Orang egois tidak tidak peduli pada orang lain. Ia masabodo orang lain kesulitan. Buat orang egois, yang penting dirinya tidak rugi.
Egoisme adalah karakter umum manusia dari masa ke masa. Di masa pandemi Covid-19 ini sikap egois juga banyak muncul. Saat masa pembatasan sosial (PSBB) atau jaga jarak (physical distancing) sebagai upaya memutus mata rantai penularan virus, tetap banyak yang kelayapan dan berkumpul. Masih banyak warga berkumpul membeli sayur di lapak-lapak di kampung-kampung. Pasar-pasar tetap disesaki pengunjung. Pujasera masih penuh saja bahkan keluarga-keluarga membawa anak-anak mereka untuk berbuka bersama. Warga juga berjubel di pusat pertokoan, berbelanja pakaian Lebaran.
Ketika diingatkan, jawabannya ketus, “Tidak mati karena korona, tetapi mati karena kelaparan.” Duh! Padahal, sudah banyak tukang sayur yang melayani via WhatsApp atau by phone. Apalagi sekarang era digital, hampir semua orang sudah canggih melakukan transaksi online.
Jadi, jangan gunakan cara pandang biner (hitam-putih). Selalu melihat konteks berhadap-hadapan. Malah memperlihatkan ke-kuper-an (kurang pergaulan) atau kebodohan. Ya, itulah egoisme, yang pendek akal, tak peduli orang lain, sulit diberitahu, mau menang sendiri, kurang berempati, kurang koperatif, tidak toleran. Watak-watak seperti itu akan membuat bangsa kita (dan umat manusia sedunia) makin terbebani dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Padahal saat ini kita amat membutuhkan sikap-sikap altruistik, yang peduli pada sesama. Sikap mendahulukan orang lain (itsar) adalah spirit yang diajarkan Islam. “Sebaik-baik orang adalah yang paling berguna bagi orang lain ” (HR At-Thabrani). Sikap altruis atau itsar, paling tidak kesediaan untuk koperatif saja, sudah cukup memberikan dampak bagi penanganan bencana ini.
Pengorbanan untuk kepentingan bersama pastilah tidak sia-sia, justru membawa berkah, seperti riwayat pertobatan umat Nabi Musa. Wahai orang-orang egois, ingatlah kita hidup di satu bumi yang sama, yang kini tengah didera bencana pandemi Covid-19. (M Subhan SD https://www.msubhansd.com/2020/05/22/egoisme-vs-altruisme/)