Oleh: M Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
Pada suatu periode, di masa silam, ketika ghirah Islam membuncah, ada hal yang sangat mengganggu pikiran. Narasinya cukup simpel tapi berputar-putar di pikiran, yakni ashabiyah, berjuang atau fanatisme demi kelompok.
Bersumber dari hadits nabi, antara lain berbunyi: “…Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ashabiyah, atau berperang untuk ashabiyah atau menyerukan ashabiyah, maka dia mati jahiliah” (HR Ahmad).
Secara global, ashabiyah menyangkut golongan, kesukuan, kedaerahan, hingga negara (nasionalisme). Saya melihat, dalam kadar tertentu persoalan ashabiyah diposisikan vis a vi s, berhadap-hadapan, dibenturkan, menggunakan cara pandang oposisi biner antara nasionalisme dan Islam. Semangat nasionalisme, Garuda di dadaku, Merah-Putih di sanubariku, cinta tanah air, dianggap atau direduksi sebagai bentuk ashabiyah.
Untuk masuk ke sana, kita perlu melihat kondisi sosiopolitik di tanah Arab sebagai “tanah kelahiran” Islam. Di Arab, kekuatan berada di kabilah-kabilah (klan). Di Mekkah, Quraisy saja memiliki banyak kabilah, seperti Bani Hasyim (merupakan marga Nabi Muhammad), Bani Taim, Bani ‘Adi, Bani Makhzum, Bani Abdus Syam, Bani Al-Muthalib, Bani Abd’d-Dar, Bani Naufal, dan lain-lain. Di Madinah, ada Bani Aus, Bani Khazraj, juga ada kelompok Yahudi seperti Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.
Rivalitas di antara kelompok-kelompok itu sangat keras. Rebutan kekuasaan, tentunya dengan kekerasan, menjadi jalan penaklukan dalam tradisi masyarakat gurun. Mereka berjuang mati-matian mempertahankan kelompoknya.
Begitu Islam muncul, sebuah peradaban baru terbentuk: kaum Muslim. Peradaban baru itu merupakan asimilasi dari anggota kelompok-kelompok lama yang sudah tercerahkan (menjadi Muslim). Mereka sudah dikeluarkan Allah dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman), minaẓ-ẓulumāti ilan-nụr (QS. Al-Baqarah: 257). Pasca hijrah nabi tahun 622, dikenallah terminologi kaum Muhajirin (Muslim Mekkah) dan kaum Anshar (Muslim Madinah).
Kaum Muslim menjadi kelompok sosial baru di antara kelompok-kelompok yang sudah mapan tersebut. Meskipun begitu, rivalitas dan konflik antar kelompok masih terus terjadi. Mereka saling menyerang dan membunuh. Memperlihatkan watak dasar manusia sebagai homo homini lupus, manusia adalah serigala pemangsa bagi manusia lainnya. Termasuk ketika mereka berhadapan dengan kaum Muslim.
Di sini kita coba memahami ashabiyah. Teori ashabiyah digagas Ibnu Khaldun (1332-1406), ilmuwan Muslim kelahiran Tunisia yang dipandang paling otoritatif dalam ilmu sosial sehingga kerap dijuluki “Bapak Sosiologi”. Teori ashabiyah merupakan analisis tajam Ibnu Khaldun dalam menyoroti masalah politik dan negara.
Ashabiyah yang bermuasal dari ikatan kekeluargaan (hubungan darah) menjadi fondasi terbentuknya sebuah negara yang berpemerintahan (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 1982). Jika ikatan kohesinya kuat maka negara akan menjadi kuat. Tetapi jika ikatan kohesi ashabiayah-nya rapuh menjadi ancaman bagi negara yang bisa retak dan bubar.
Teori Ibnu Khaldun ini tetap relevan sampai saat ini. Negara, di masa modern ini disebut nation-sate (negara bangsa) karena kemunculan negara seiring dengan menguatnya identitas kebangsaan. Indonesia, misal, terjalin dari ikatan kelompok suku-etnik (Jawa, Sunda, Batak, Minang, Aceh, Bugis, Makassar, Banjar, Minahasa, Flores, Ambon, Papua, dan lain-lain),
ikatan etnik-bangsa (China, Arab, dan sebagainya), ikatan agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau lainnya). Ibarat bahan makanan campur-campur dilebur dalam kuali peleburan (melting pot) menjadi identitas bangsa Indonesia (nasionalisme) yang kemudian berkonsensus membentuk negara.
Dalam teori nasionalisme, ikatan-ikatan kelompok tersebut, seperti ras, budaya, bahasa, agama, bahkan wilayah pun, dan lain-lain dikenal sebagai faktor-faktor objektif. Bagi filsuf asal Perancis Ernest Renan (1823-1892), faktor-faktor objektif itu bukanlah elemen pembentuk sebuah bangsa melainkan sebagai elemen pendorong munculnya bangsa.
Oleh karena itu, nasionalisme itu merupakan suatu kondisi subjektif, yang tak bisa diukur dengan faktor-faktor objektif saja. Dengan kondisi subjektif itu, konsep nasionalisme menguatkan adanya kesadaran moral (conscience morale) yaitu kemauan bersama untuk hidup bersama, bukan sekadar kesamaan budaya (cultuurnantie theorie) atau kesamaan negara (staatnatie theorie). Jadi, ada ikatan batin yang sangat kuat.
Dengan demikian, nasionalisme adalah harapan jauh ke depan, dengan topangan elemen-elemen objektif tersebut. Sebagaimana dikemukakan Renan pada 1882, nasionalisme adalah jiwa yang dipengaruhi kesamaan sejarah, nasib untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble). Sejarawan Hans Kohn (1891-1971) memformulasikan bangsa sebagai hasil tenaga hidup dalam sejarah, yang selalu bergelombang, dinamis, dan tidak membeku.
Maka Ben Anderson pun mendefinisikan bangsa sebagai imagined communities, yakni komunitas yang dikonstruksi dan dibayangkan oleh orang-orang yang merasa bagian dari kelompok itu dan secara politis memiliki kedaulatan (Benedict Anderson, Imagined Communities, 2008).
Nasionalisme adalah formula, dari perlawanan terhadap kolonialisme, yang eksploitatif, menindas, diskriminatif, tidak adil, merendahkan harkat dan martabat manusia. Dalam posisi ini Islam berada di garda terdepan. Islam adalah sistem nilai yang memosisikan manusia dalam keadaan setara, tidak boleh satu manusia menindas manusia lain.
Maka, dalam sejarah negeri kita tercatat bagaimana Islam memainkan peran penting dalam melawan kolonial Belanda. Baik sebagai gerakan perlawanan (pemberontakan dan perang) hingga gerakan modern (kemunculan organisasi lebih modern). Eksistensi dan posisi Islam sangat jelas, justru sebagai pembentuk nasionalisme, yaitu membangkitkan kesadaran nasional sebagai bangsa Indonesia.
Kalau begitu masa sih mencintai tanah air yang didirikan oleh Islam dianggap ashabiyah? Islam itu melampaui ashabiyah. Islam bukan berdasarkan kekeluargaan, suku, ras, suku, atau kategori kelompok-kelompok lainnya. Beda dengan Yahudi, misalnya. Yahudi mengacu pada keturunan Nabi Ya’kub.
Dengan keawaman, saya melihat teks hadits nabi di atas tentang ashabiyah dimaknai secara berlebihan (fanatisme kelompok), ketika posisi ashabiyah di atas segala-galanya. Faktanya nabi juga mencintai tanah air. Ketika memasuki kota Madinah, nabi berdoa, “Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu….” (HR Bukhari no. 6372, Muslim no. 1376).
Saya justru curiga dengan fanatisme kelompok yang berada di sekitar kita, tetapi terkadang tidak disadari atau diabaikan. Padahal fanatisme itu menjauh dari nilai-nilai Islam atau justru lebih banyak menebar pertentangan/perbedaan ketimbang menyemai kedamaian. Misal, di era otonomi sekarang ini, ketika unsur-unsur kedaerahan ditonjolkan sedemikian rupa bahkan sampai timbul konflik dan merusak kohesi bangsa, bukankah termasuk ashabiyah?
Jika kita berdebat tanpa henti mempertahankan mazhab masing-masing sampai merasa menang, bukankah itu fanatisme kelompok? Kalau politikus lebih mementingkan partai/fraksi di atas persoalan bangsa apalagi Islam, bukankah itu ashabiyah? Kalau netizen mendukung mati-matian tanpa reserve tokoh politiknya, bukankah itu fanatisme sempit? Kalau ada oligarki atau pejabat berjuang untuk keluarganya, saudaranya, kroninya, kelompoknya, bukankah itu sesungguhnya ashabiyah modern?