KABARINDO, JAKARTA - Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, Yustinus Prastowo mengapresiasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendorong penerapan prinsip keadilan dalam pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ia menyebut fatwa tersebut menjadi pengingat penting bahwa pajak bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial.
"Fatwa MUI tentang keadilan pajak ini bagus sekali. Ini memberikan landasan moral bahwa pajak harus dikelola secara adil dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan. PBB adalah bagian dari upaya itu, karena ia menopang layanan publik dan menjaga agar kota tetap inklusif," ucap Prastowo dalam keterangannya, Senin (1/12/2025).
Prastowo memastikan sebagian besar prinsip keadilan perpajakan yang digariskan MUI telah diakomodir dalam kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
PBB, yang diatur dalam UU PBB serta UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, merupakan pajak kebendaan atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan. Pajak ini menjadi instrumen penting untuk menjaga ketersediaan layanan publik sekaligus memastikan distribusi kepemilikan lahan tetap proporsional.
Menurut Prastowo, perlindungan bagi masyarakat kecil telah menjadi perhatian utama dalam implementasi PBB.
"Perlindungan bagi rakyat kecil konsisten diberikan. Ada pengaturan tarif yang fleksibel, assessment ratio, NJOP tidak kena pajak, dan berbagai fasilitas lain untuk memastikan PBB tidak membebani kelompok rentan," jelasnya.
Ia mencontohkan penerapan kebijakan PBB di DKI Jakarta yang secara nyata mengakomodasi prinsip keadilan tersebut.
"Saat ini, Pemprov DKI memberikan sejumlah insentif, misalnya, untuk rumah tapak dengan NJOP di bawah Rp 1 miliar bebas PBB untuk kepemilikan pertama, dan diskon 50% untuk kepemilikan kedua. Apartemen/rusun dengan NJOP Rp 650 juta juga bebas PBB," papar Prastowo.
Fasilitas lain yang telah disediakan Pemprov DKI antara lain, pengurangan PBB bagi warga dengan kondisi ekonomi berat atau tanpa penghasilan, pengurangan untuk pensiunan, pengurangan akibat keadaan kahar, serta keringanan hingga 100% bagi lembaga pendidikan dasar dan menengah berbasis yayasan.
*PBB Atasi Ketimpangan Kepemilikan Lahan*
Prastowo menjelaskan, pajak saat membeli tanah atau bangunan hanyalah pajak atas perolehan awal. Sementara aset tanah dan bangunan dari warisan tidak tersentuh pajak perolehan.
"Maka itu, PBB dibayar dari kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan tanah/bangunan yang sifatnya terbatas," ujarnya.
Ia turut menyoroti nilai tanah dan bangunan (NJOP), baik hasil pembelian maupun warisan, terus meningkat setiap tahun. Ini bukan karena usaha pemilik semata, melainkan didorong pembangunan kota, perbaikan infrastruktur, dan perubahan tata ruang yang dilakukan pemerintah daerah.
"Jika tak dipajaki, maka mereka yang penghasilannya tinggi akan semakin menguasai lahan, sebaliknya yang miskin makin tersisih," ucapnya.
Ia mengingatkan bahwa tanpa PBB ketimpangan akan semakin melebar. Pungutan PBB setiap tahun salah satunya berfungsi untuk mengendalikan kepemilikan lahan, agar warga kurang mampu tetap memperoleh akses hunian yang layak.
"PBB mengatasi problem ketimpangan ini, agar kepemilikan tanah bisa dikendalikan, sehingga yang kaya ikut berkontribusi untuk yang kurang mampu," katanya.





