Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Berita Utama > Yahudi Juga Manusia 

Yahudi Juga Manusia 

Berita Utama | Kamis, 27 Maret 2025 | 17:40 WIB
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
Yahudi Juga Manusia 

Oleh: M. Subhan SD

Co-Founder Palmerah Syndicate

Yerusalem di musim dingin. Suhu di titik 0 derajat Celcius. Saya antre di pos pemeriksaan, beberapa meter menuju Pintu Pengampunan (Bab Al-Hutta atau Remission Gate), salah satu akses memasuki kompleks Baitul Maqdis. Malam itu tubuh gemetaran kedinginan, pikiran macam-macam begitu melihat pos pemeriksaan tentara Israel.

Tubuh digeledah, ransel diperiksa. Para tentara berpakaian lapangan (PDL) lengkap dengan senjata di tangan. Mudah-mudahan aman, saya membatin. Eh, tentara yang memeriksa malah bertanya, "Where are you from?" Wajahnya pas di depan wajah saya. "Indonesia," jawab saya. 

Biasanya, karena urusan pekerjaan, saya banyak bertanya. Tapi kali ini memilih pasif supaya tak memancing masalah. Malah diulangi, "Indonesia?" Saya jawab pendek saja, "Yes!" Pengin cepat-cepat berlalu dari pos itu. Apalagi melihat ada beberapa orang dari negara lain tertahan di pinggir pos pemeriksaan itu. Duh, jangan sampai mengalami nasib sama.

Saya sempat terkesiap ketika ia menyuruh saya bergeser ke posisi temannya, sekitar empat langkah. Apa diperiksa lagi? Rupanya, dia menyuruh saya menghangatkan tubuh di dekat perapian. Saya surprised juga. Wah ramah juga dengan orang Indonesia. 


Mereka pasti tahu tentang Indonesia, yang luasnya hampir 100 kali negara mereka. Tetapi Indonesia dan Israel tidak punya hubungan diplomatik. Indonesia bukan saja menolak keras pendudukan Israel di tanah Palestina tetapi setiap tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Dalam forum OKI dan PBB, Indonesia gencar memperjuangkan kemerdekaan Palestina.  

Mayoritas warga Indonesia memihak Palestina, walau ada juga yang pro Israel. Bisa dicek komentar-komentar di medsos terkait serangan Israel ke Gaza, sejak 27 Oktober 2023 tanpa henti. Pro Israel bilang, itu tindakan balasan terhadap serangan mendadak Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. 

Dalam konteks konflik di Timur-Tengah ini, sudah tidak valid lagi melihat siapa yang menyerang duluan. Karena, semua pihak sama-sama melakukannya. Pada Perang Enam (5-10 Juni 1967), Israel melakukan serangan lebih dulu. Pertahanan udara Mesir dibombardir, sampai tak berkutik. Koalisi Arab (Mesir, Yordania, Suriah, Irak, Lebanon, PLO) keok. Mesir kehilangan Sinai, Yordania kehilangan Tepi Barat, Suriah kehilangan Dataran Tinggi Golan. 


Dalam Perang Ramadhan 6-26 Oktober 1973 atau Perang Yom Kippur, giliran koalisi Arab yang menyerang duluan. Mulanya Israel keteteran, belakangan meraih kemenangan. Uni Soviet dan Amerika Serikat ikut main. PBB bergerak. Mesir mendapatkan kembali Sinai, tapi Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan tidak kembali sampai hari ini. Jadi siapa pun yang menyerang duluan, dapat dilihat sebagai reaksi terhadap aksi sebelum-sebelumnya. 

Posisi ini penting untuk melihat konflik lebih jernih. Jika mau ditelusuri, keberadaan Israel sampai membentuk negara bisa dianggap tidak fair karena mandat Inggris tahun 1948. Israel mendapatkan wilayah itu bukan karena penaklukan sebagaimana lazimnya dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia.

Dukungan Inggris dalam Deklarasi Balfour diberikan kepada kelompok Zionis pada 1917 – dukungan sudah ada sejak pertengahan abad ke-19 – ketika Palestina masih wilayah Turki Usmaniyah (Ottoman). Inggris dan Perancis membagi-bagi wilayah bekas imperium Ottoman, sekaligus mendukung pemberontakan Arab terhadap Ottoman. 


Pasca mandat Inggris itu, PBB membagi menjadi dua wilayah negara, untuk Arab Palestina dan Yahudi. Di sini pangkal kisruh. Pembagian wilayah dinilai tidak adil. Palestina dapat wilayah 11.137 km2, sedangkan Yahudi dapat 14.763 km2. Padahal warga Palestina lebih banyak, yaitu 1.364.330 jiwa, bandingkan dengan Yahudi 608.230 jiwa.

Bagaimana logikanya, orang Palestina yang populasinya 69,2 persen dapat tanah seluas 43 persen. Sebaliknya orang Yahudi sebanyak 30,8 persen diberi tanah seluas 57 persen. 

Lebih aneh lagi peta wilayahnya, khusus Palestina seperti enkalve terpisah, persis posisi Tepi Barat dan Jalur Gaza sekarang. Wajar saja Palestina meradang. Mereka lebih punya hak hak atas tanah itu, sedang orang Yahudi baru berdatangan dari Eropa. Sejak itu kemarahan, perjuangan, pembalasan, batu, api, senjata, perang, berbaur nyaris tanpa henti. Dan, Israel terus merangsek menduduki wilayah-wilayah Palestina. Hari ini peta awal itu sudah berubah total di mana nyaris semua wilayah negara Palestina sudah dicaplok Israel. 


Israel mendorong warganya menduduki tanah-tanah Palestina, bermula dari tenda-tenda lalu menjadi permukiman permanen. Mereka juga membeli rumah-rumah orang Palestina, baik lewat cara soft atau tekanan. Ada yang menggali lantai rumah-rumah yang mereka beli sampai dinding rumah tetangganya milik Palestina terancam ambrol.

Bikin sedih lagi orang Israel merekrut orang-orang Arab juga untuk membujuk warga yang menjual rumah (Subhan SD, Negeri Para Nabi, 2023). Siapa yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan dan ancaman setiap detik?  


Seperti orang Yahudi yang terusir dari Eropa, kini orang Palestina yang diusir dari tanahnya oleh Yahudi. Tak heran, konflik di Palestina sering kali direduksi menjadi konflik agama, Islam versus Yahudi. Padahal di Israel ada orang Islam, sekitar 18,1 persen dari jumlah populasi. Di Palestina ada 2 persen orang Kristen. Tetapi isu agama memang tak terhindarkan, walau sesungguhnya persoalan rebutan wilayah (politik). 


Maka, realita hari ini makin rumit. Penyelesaian konflik pun makin tidak mudah. Persoalan Israel bukan an sich urusan mereka, melainkan terkait politik global. Bukan rahasia lagi Amerika Serikat (AS) dan Eropa adalah bekingnya. PBB pun tak berdaya, karena notabene dikuasai mereka. Israel semakin menjadi kekuatan tak tertandingi di kawasan Timur Tengah.

Musuh-musuh bebuyutan Israel sudah disingkirkan AS, dengan segala dalih yang tak rasional. Irak, Libya, Suriah, Afghanistan, sudah tak punya daya. AS menepuk dua lalat sekaligus: mengincar sumber daya alam dan menyingkirkan rezim lawan Israel. Iran yang dibidik sejak lama masih bertahan. 


Jadi, seberapa pun nakal  dan kejamnya Israel, tidak pernah dihukum keras. Buktinya ratusan resolusi PBB diveto AS dan tak diindahkan juga. Bahkan surat perintah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk penangkapan Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Gaza yang dikeluarkan November 2024, juga seperti macan ompong. 


Dengan posisi Israel yang kuat di kawasan dan bekingnya, penggunaan kekerasan tampaknya hanya memperbanyak daftar lawan-lawan Israel yang berjatuhan. Banyak pihak melihat bahwa two states solution menjadi jalan tengah terbaik. Untuk itu, perlu skenario melingkar, misalnya mereformasi kekuatan di PBB, mumpung AS sedang “berjarak” dengan PBB.

Kekuatan penengah seperti Gerakan Non-Blok dapat dihidupkan sebagai penyeimbang. Kuncinya juga terletak pada bersatunya negara-negara OKI, yang dalam hubungan bilateralnya juga banyak yang kurang mesra. 

Di zaman nabi, pada masa awal hijrah ke Madinah, nabi membangun aliansi dengan semua kekuatan sosial termasuk Yahudi untuk menghadapi serangan kaum kafir Mekkah. Sebaliknya, ketika kekuatan Islam dirasa cukup, nabi pernah mengusir kaum Yahudi dari Madinah karena mereka bertindak melampaui batas. Yahudi suka mengadu domba, korbannya kabilah Aus dan Khazraj yang berkonflik. 


Belajar dari nabi, dapat ditempuh dua cara. Jika cara kekerasan kurang efektif untuk situasi sekarang, maka pentingnya dilakukan cara-cara lebih soft yaitu diplomasi. Ini justru cara modern. Bagaimana kita dapat menyelesaikan konflik, bila tidak terjalin komunikasi yang intens dengan pihak-pihak yang berseteru.

Dengan dapat informasi, kedua pihak dapat dijembatani. Menjauh dari salah satu pihak hanya kehilangan informasi dari salah satu pihak tersebut. Jika ada pihak-pihak yang memilih cara itu diharapkan efektif dan membawa hasil. Sebaliknya bila ada pihak-pihak lain yang bergerak mengumpulkan donasi dan kekuatan juga dapat dilakukan asalkan terukur. Jadi dapat dilakukan secara simultan, saling mengisi, tanpa harus saling curiga, yang justru memecah kekuatan pro Palestina. Jangan sampai kemarahan terhadap Israel (Yahudi) membuat kita kehilangan nilai-nilai Islami.

Jadi teringat riwayat nabi. Suatu hari, ada rombongan jenazah lewat di dekat nabi dan para sahabat yang sedang duduk. Begitu tandu jenazah lewat, nabi pun berdiri sebagai bentuk penghormatan. Sahabat seakan protes, memberi tahu nabi bahwa jenazah itu adalah orang Yahudi. Nabi pun menjawab, “Bukankah Yahudi juga manusia?” (HR. Bukhari).

Dalam hadits lain, nabi bersabda, “Sungguh Allah tidak mengutusku untuk menjadi orang yang merusak dan bukan (pula) orang yang melaknat. Akan tetapi Allah mengutusku untuk menjadi penyeru dan pembawa rahmat. Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui!” (HR Al-Baihaqi).


RELATED POST


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER