Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Berita Utama > Tujuh Puncak, Enam Bulan dan Seorang Perempuan Eksekutif yang Berani Keluar dari Zona Nyaman

Tujuh Puncak, Enam Bulan dan Seorang Perempuan Eksekutif yang Berani Keluar dari Zona Nyaman

Berita Utama | Kamis, 10 Juli 2025 | 21:47 WIB
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
Tujuh Puncak, Enam Bulan dan Seorang Perempuan Eksekutif yang Berani Keluar dari Zona Nyaman

Di balik ruang rapat mewah dan layar presentasi yang memuat angka-angka pertumbuhan bisnis, Rara W Kencana atau yang biasa disapa Alice menyimpan kisah yang jauh lebih berani dan personal: sebuah pendakian menembus batas diri, melampaui rasa takut, dan keluar dari zona nyaman yang selama ini membingkainya sebagai seorang perempuan eksekutif di perusahaan besar.

Perjalanan Alice dimulai bukan dari kaki gunung, melainkan dari sebuah kelelahan batin. Hidup yang tampak “sempurna” di atas kertas ternyata menyisakan kehampaan yang tak bisa dijawab oleh pencapaian profesional.

Ia merasakan ada sesuatu yang hilang—sebuah jeda, napas panjang, atau mungkin pertemuan dengan dirinya sendiri di tempat yang sunyi. Dari sana, lahir tekad untuk menaklukkan tujuh gunung dalam waktu enam bulan, sebuah mimpi yang bahkan bagi pendaki berpengalaman sekalipun bukan perkara mudah.

Tujuh Puncak, Enam Bulan dan Seorang Perempuan Eksekutif yang Berani Keluar dari Zona Nyaman

Gunung Ciremai menjadi langkah pertama. Di sana, Alice belajar satu hal penting: mendaki bukan soal cepat atau lambat, tetapi soal bertahan. Kaki yang lelah, napas yang terengah, serta keringat yang menetes di antara kabut menjadi saksi kesungguhannya. Setelah puncak pertama, ia tak lagi sama—ia mulai percaya bahwa ia mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam pikirannya.

Pendakian berikutnya ke Gunung Sumbing dan Sindoro semakin mengasah keyakinan itu. Alice mendapati dirinya jatuh cinta pada rasa letih yang membebaskan, pada pagi hari di atas awan, dan pada obrolan sederhana di tenda bersama pendaki lain. Setiap puncak menanamkan rasa syukur dan rendah hati yang jarang ia temukan di dunia korporasi.

Gunung Lawu, Slamet, dan Merbabu menjadi pengingat bahwa jalur hidup kadang berliku dan penuh batu. Alice menghadapi badai kecil, jalur longsor, serta cuaca yang tak terduga. Namun justru di sanalah ia merasa paling hidup. Dalam diamnya hutan dan dinginnya malam, ia berdialog dengan dirinya sendiri, merajut ulang mimpi dan menimbang ulang arti kesuksesan.

Tujuh Puncak, Enam Bulan dan Seorang Perempuan Eksekutif yang Berani Keluar dari Zona Nyaman

Puncak terakhir, Gunung Rinjani, memiliki cerita paling menggetarkan. Waktu pendakian Alice berdekatan dengan kabar jatuhnya seorang pendaki asal Brazil di kawah Rinjani. Di pos peristirahatan, Alice sempat bertemu guide lokal yang menceritakan detik-detik pencarian korban, betapa tipis batas antara euforia menjejak puncak dan tragedi yang merenggut nyawa.

Mendengar kisah itu, Alice semakin menyadari: setiap langkah di gunung adalah langkah di atas risiko. Namun justru di sanalah terletak makna sejati perjalanan: keberanian untuk menerima risiko, bukan hanya merayakan hasil. Puncak bukanlah segalanya; perjalanan menuju puncaklah yang menumbuhkan jiwa.

Berdiri di atas Segara Anak dan memandang lekuk Rinjani, Alice tak hanya melihat hamparan awan, tetapi juga refleksi dirinya yang baru. Seorang perempuan yang tidak lagi sekadar mengejar target kerja, tetapi juga mengejar kebebasan batin.

Ia sadar, banyak yang menganggap pilihannya “nekat” dan terlalu berisiko, apalagi untuk seorang eksekutif perempuan yang sehari-hari akrab dengan jadwal rapat padat. Namun justru keberanian keluar dari zona nyaman itu yang membuktikan bahwa kehidupan lebih luas daripada dinding kantor.

Setelah menuntaskan tujuh puncak dalam enam bulan, Alice kembali ke meja kerjanya—namun ia pulang sebagai sosok yang berbeda. Ia membawa serta ketenangan, keberanian, dan rasa syukur yang lahir dari tiap tanjakan curam dan jalur terjal.

"Saya bersyukur dan sungguh berbahagia dengan keberhasilan pencapaian tertinggi dalam Alice 7 Summits 2025 ini. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya dapat berada di puncak tertinggi tujuh gunung di Indonesia," kata alumni SMA 12 Jakarta tahun 1987 dan Akademi Sekretaris LPK Tarakanita tahun 1990 ini.

Tujuh Puncak, Enam Bulan dan Seorang Perempuan Eksekutif yang Berani Keluar dari Zona Nyaman

Kisah Alice bukan sekadar tentang menaklukkan gunung, melainkan tentang menaklukkan keraguan dalam diri sendiri. Tentang perempuan yang berani berkata: hidup tidak hanya diukur dari berapa tinggi jabatan, tetapi juga sejauh mana kita berani melangkah mencari arti.

Kita kaum perempuan dapat meraih sesuatu yang kita inginkan, sesuatu pencapaian tertinggi yang menjadi mimpi kita, dengan kerja keras, perencanaan matang, mengetahui kekurangan dan kelemahan sendiri, kesiapan fisik dan mental, dan didukung tim yang bersatu untuk mewujudkan mimpi kita menjadi kenyataan," tegasnya.

Dan bagi Alice, tujuh puncak itu adalah pengingat abadi: keberanian untuk memulai perjalanan jauh lebih penting daripada sekadar tiba di puncak.


RELATED POST


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER