KABARINDO, JAKARTA - Wajah bumi pada dasarnya dimana saja sama serupa. Ada berbagai kepentingan. Dan ada yang perlu didahukan, menyebabkan perbedaan prioritas dan dari berbagai kepentingan.
Kekuasaan (penguasa/politik), dan pemodal (pemilik uang besar), hampir yang selalu dominan. Tak terkecuali mimbar ilmiah.
Muncul kepentingan ekosistem lingkungan yang terasa makin sangat penting versus pengusahaan sumber daya alam dan hutan.
Ilmu pengetahuan dan praktik yang sahih diunggulkan. Tetapi politik yang berkuasa dan menentukan. Dengan data yang akurat dan pengorbanan yang nyata (di pihak rakyat) seringkali diabaikan..
Sedangkan kerugian karena kebiijakan penguasa, apakah akibat yang merusak adalah sebuah error dianggap biasa, cuma coba-coba pemerintah seberapapun akibatnya tanpa resiko. Sedangkan kerugian bagi pengusaha sudah ada kalkulasinya bagi mereka, jadi obyek perijinan dan pengawasan atau malahan bisa menjadi teman penguasa. Masyarakat yang selalu menanggungi resiko dalam bentuk bencana atau apapun.
Dahulu kala, hutan lindung haram diinjak manusia karena diyakini menyevbabkan pemadatan lantai tanah yang membuat berkurangnya infitrasi air dan naiknya erosi tanah, serta besarnya air limpasan dan banjir. Kini kebijakannya berbeda.
Jawa yang karakteristiknya bergunung-gunung, berlereng, struktur tanah rapuh, dan curah hujannya besar (tipe A), yang lebat melalui metode yang rumit diperhitungkan butuh tutupan hutan lindung sebanyak 70 persen (Transtoto dan Firman Fahada, 2003).
Tapi justru hutan Jawa dikurangi untuk obyek ketahanan pangan. Pemerntah (pelaksana politik) harus memeras pikiran praktisi lapangan untuk mencari jalan yang logis. Agar bisa memenuhinya dengan sukses dan aman lingkungan.
Sebelumnya di tahun 2020-an ada kebijakan KHDPK di hutan Jawa yang ditetapkan penguasa yang direncanakan sangat tergesa-gesa, memancing konflik di lapangan, menggunduli hutan Perhutani dan mengundang derita banjir dimana-mana.
Tapi banyak yang terbawa sikap bias dan mengikuti/mendukung paham ini, bahkan malah buanyak sekali, umumnya bawahan, meskipun rimbawan, yang ada di dalam pengaruhnya, atau yang nepotis, bahkan termasuk kalangan akademisi.
Di saat para pemimpin yang mabok kekuasaan, bisa menetapka apapun yang berlindung pada jargon yang "terbaik untuk rakyat", tanpa resiko tersangkut aturan, dimana pemodal dengan kalkulasi cost dan benefit yang tidak akan merugi, dan meremehkan posisi lemah masyarakat yang sering hanya menjadi peserta penderita, dan "itu urusan yang lain", maka semua terjadi tanpa dosa.
KHDPK yang sangat ditentang senior rimbawan dari UGM Jogja Haryono Kusumo dan Bambang Adji serta dari FPHJ Jawa Barat (Eka Santosa), dan banyak lainnya yang tak berdaya memaklumi garis penguasa.
Gerbong akademisi yang dijadikan andalan memuluskan kebijakan itu dengan lebih mengambil langkah menjauh agar tidak lecet karena "terkena serempetan" itu.
Saat panas-panasnya KHDPK tersebut Dr. Transtoto Handadhari, Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2008 bersama rekannya aktivis lingkungan Acil BIMBO sempat menulis surat ke Presiden yang berwenang saat itu. Tapi tidak ada perhatian.
"Meski mendukung niat baik itu kami mohon kebijakan KHDPK tersebut ditinjau kembali agar tidak tergesa-gesa diterbitkan, dipertimbangkan dulu kondisi dan kemampuan hutan di Pulau Jawa yang saat ini sudah sangat kecil, kurang dari 10 persen. Tanah Jawa yang subur yang luasnya hanya sekitar 6 persen dari daratan negara ini, dan sudah padat dihuni 150 jutaan penduduk (lebih dari separoh penduduk) juga sudah menderita oleh banyak bencana".
"Sebagai tawaran kompromi menuju win-win solution perlu kecermatan yang rasional melakukan "kesetaraan nilai" antara pangan dan keseimbangan ekositem. Baik tentang value komoditas tanaman, yang sesuai, maupun jumlah produksi pangan yang ditargetkan serta peran keseimbangan ekosistem yang aman. Memang tidak mudah.Perlu kecermatan total", tutup planolog rimbawan UGM Yogyakarta yang sedang menjalani perawatan physio-therapy itu kepada Kabarindo.