Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Ekonomi & Bisnis > Tegen Prestasi Dan Sanksi Dalam Pengelolaan Ekosistem Lingkungan

Tegen Prestasi Dan Sanksi Dalam Pengelolaan Ekosistem Lingkungan

Ekonomi & Bisnis | 17 jam yang lalu
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
Tegen Prestasi  Dan Sanksi Dalam Pengelolaan Ekosistem Lingkungan

Keadilan dalam praktik pengelolaan pelestarian ekosistem lingkungan seharusnya diberlakukan dengan setara dan adil. Pengetahuan telah ada dan diajarkan. Organisasi sudah diatur pemerintah. Aturan pengawasan ada. Maka tangung-jawab ada.

Untuk menggairahkan kerja dan kehati-hatian, harus ada tegen pretasi dan resiko sanksi kepada dan oleh siapa saja di negeri ini dalam mengelola ekosistem lingkungan alam yang sangat strategis bagi kehidupan ini.

Seseorang yang berprestasi mengembangkan menjaga/melestarikan serta mendayagunakan peran positif ekosistem selayaknya diberikan penghargaan (tegen prestasi). Sekecil apapun, apalagi besar dan setimpal.

Sebaliknya dengan adil tanpa melihat perbedaan siapa dia (pelaku), semua pihak yang merusak ekosistem sebagai penunjang kehidupan itu seharusnya mendapat sanksi, entah pejabat ataupun raja penguasa, pengusaha dan masyarakat.

Konservasi alam  hayati merupakan bentuk ekosistem yang harus dijaga peran fungsinya, yang paling mudah dikenali adalah peran hutan serta biodiversitas.

Pemeran pelaku utamanya adalah manusia, yang dikenalkan sebagai makhluk sangat cerdas tetapi yang dianggap "makhluk paling jahat" di dunia.

Seperti diketahui, hutan alam akan selalu menjaga keseimbangan ketersediaan air, kesuburan tanah, keseimbangan kehidupan fauna-flora-burung, kelestarian plasma nutfah, sampai ke jasad renik.

Secara umum sistem ekologi itu mencakup kesemua kehidupan yang saling timbal balik menunjang sistem kehidupan.

Pemahaman praktik sudah mengajari, kalau hutan gundul, keseimbangan konfigurasi air hujan jatuh dan lingkungan terganggu. Bahkan bencana datang, dan tanf paling merasakan adalah masyarakat.

Apabila kualitas air sungai, keruh, ataukah besarnya debit air naik di musim hujan lebih dari 40 kali debit di musim kemarau, langsung bisa diketahui hutan di hulu bermasalah. 

Apakah terjadi erosi tanah, banjir meluap, hutan dirusak atau terjadi pembalakan liar, peladangan, pencemaran mengakibatkan kehidupan satwa, biota air serta lainnya terganggu.

Erosi tanah relatif sangat kecil di lahan persawahan dan hutan lindung berlapis, serta tanah datar berumput padat.

Tegalan, perladangan, kebun (terutama salah satunya tegalan kentang), sangat rawan erosi. Namun dapat dibuat ekosistem buatan untuk sedikit banyak merekayasa menggantikan fungsi hutan lindung. Tetapi tak sempurna.

Menurut Dr. Wiratno, mantan Dirjen PHKA Kem-KLH pemikir yang cerdas, sudah lama ada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta turunannya berupa PP No 22/2021 tentang2 Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4/2021 tentang daftar usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, dan aturan seterusnya sampai pemantauan lingkungannya.

Sangat lengkap. Tapi saat ini hutan dan ekostemnya tetap rusak parah. Semua aturan tetap dianggap basa-basi.

Taman-taman nasional hampir semuanya terganggu, banyak dirambah kayu alamnya yang besar-besar, dan dirambah. Malahan "terakhir" yang mengandung gemerlapnya kekayaan nilai tambang mineral dan minyak-gas seperti digagahinya Raja Ampat tanpa peduli ekositem itu.

Sanksi kepada perusak hutan sebesar nilai dan penerapan ancaman yang disebutkan UU atau aturannya itu nyaris diabaikan, semua "bisa diatur" kata "mereka". Dan itu hampir selalu benar.

Terutama oleh aparat pemerintah atau yang bisa membeli aturan/ hukum. Tqpi bagi rakyat kecil aturan dan sanksi malah lebih nyata diterapkan.

Pelaksanaannya sebaiknya obyektif, substantif dan personal. Tidak boleh dibedakan. Seharusnya harus setara, transparan dan adil.

Tetapi harus diimbangi dengan panghargaan nyata yang tercantum dalam UU dan aturannya yang mengikat seluruh warganegara.

Sebagai contoh kepada Prof. Soedarwono (alm), Dr. Soekotjo (alm) dan Dr. Naiem dari UGM yang membangun hutan tandus Wanagama serta mengembangkan tenik silvikultur khusus yang nyata mengembalikan nilai dan kualitas hutan alam serta kelestarian ekosistemnya.

Kepada kelompok masyarakat, pemerintah, pengusaha, akademisi, peneliti dan politikus bagkan wartawan dan LSM yang berkarya besar membangun hutan, hutan, bahkan kini ekosistem hutan lautan. 

Perlu juga dixatar pemerintah dan aparat yang karena kebijaksaannya menyebabkan hutan rusak, penebangan liar, koruptif, melakukan pungli, kecuali melakukan tugas dan aturan tanpa kecurangan, yang bisa dimengerti.

Tetapi perbuatannya yang telah menyebabkan kerusakan alam serta resiko dan derita bencana wajib diberi hukuman berat. Demikian sebaliknya yang setimpal.

Sanksi kepada pemerintah apabila ada sebuah kebijakan yang merusak, atau merugikan, bahkan dilakukan juga korupsi yang umum marak, hampir tidak menyentuh pejabat pemerintah tersebut dengan dalih coba-coba atau program. 

Yang umum mendapat sanksi adalah pengusaha berijin. Yang nyolong tapi bisa ber- "hoping" dengan petugas ya aman. Itulah yang menjadikannya sumber ķorupsi makin subur atau "kong-kalingkong" yang merajalela antara pejabat/aparat dan pengusaha.

Bagaimana dengan masyarâkat/ rakyat? Kalau yang dilakukan rakyat kecil hanya mengambil ranting dan daun jati? Kebijakan yang harus dipegang sesuai aruran. Tapi jangan ada pencuri gelondong jati besar yang bisa dimainkan hukumnya oleh aparat hukum. 

Kondisi negara sudah brutal,  korupsi berjamaah, di bagian apapun yang terkait ada kecurangan. Biar-pun diacarakan dengan hidmat dihadiri pejabat terkait serta siswa, mahasiswa dan masyarakat, mereka menganggap upaya yang baik itu hanyalah "nguyahi segoro", katanya tetap optimis.

Satu hal lagi bahwa kesetaraan perlakuan, penghargaan prestasi, transparansi kerja dan keadilan hukum yang menjadi  tuntutan rakyat dapat terwujud, baik berupa materi dan lainnya, terutama untuk para peneliti yang sangat perlu dihargai hak ciptanya, juga perusahaan hutan seperti di Riau yang rela membiayai hutan pelestarian/merehabilitasi ekosistem relatif tanpa mementingkan hasil produksi komersial tetapi melawan pemanasan global dan perbaikan ekosistem, sangat patut diperhatikan. Tentu semua untuk kesejahteraan bangsa dan masyarakat.

Penulis: Transtoto Handadhari

Rimbawan KAGAMA, Ketum Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI) yang tahun 2013 di Bandung mendeklarasikan Budaya Kehidupan NO CHEATING Indonesia (tanpa kecurangan), dan tahun 2022 mendeklarasikan MEMULIAKAN HUTAN TANPA KECURANGAN di Kab. Gunung Kidul, Yogyakarta. 


RELATED POST


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER