Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute
Syukur bukan hanya sekadar ungkapan terima kasih kepada Allah SWT, tetapi juga sebuah mekanisme yang dapat menenangkan jiwa, menghilangkan kegelisahan, dan menghadirkan kebahagiaan yang sejati. Dalam Surah Ibrahim ayat 7, Allah SWT berfirman:
"Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
Ayat ini menunjukkan bahwa syukur tidak hanya membawa keberkahan tambahan, tetapi juga mencegah azab, yang dapat dimaknai sebagai penderitaan batiniah seperti kegelisahan, ketidakbahagiaan, dan rasa tidak puas.
Pendekatan ini selaras dengan teori-teori psikologi modern yang menyoroti pentingnya rasa syukur dalam menciptakan kesejahteraan emosional.
Syukur dalam Perspektif Al-Qur'an
Syukur dalam Islam bukan hanya ekspresi verbal, tetapi juga sikap hati dan tindakan nyata. Orang yang bersyukur mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT. Dengan demikian, ia menghindari penyakit hati seperti sombong, iri, dan dengki karena menyadari bahwa segala nikmat adalah pemberian, bukan hasil usaha pribadi semata. Sebaliknya, mereka yang tidak bersyukur rentan terhadap kegelisahan, sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut:"Jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
Azab ini dapat dipahami bukan hanya dalam konteks akhirat, tetapi juga dalam kehidupan dunia. Ketidakmampuan untuk bersyukur menjadikan seseorang terjebak dalam lingkaran ketidakpuasan, selalu menginginkan lebih, dan kehilangan kemampuan untuk menikmati apa yang dimilikinya. Dalam kondisi ini, penderitaan batin menjadi nyata.
Syukur dalam Perspektif Psikologi
Psikologi modern memberikan validasi terhadap pandangan ini. Studi dalam bidang positive psychology menunjukkan bahwa syukur adalah salah satu faktor terkuat yang mendukung kesejahteraan mental. Menurut Robert Emmons, seorang ahli psikologi terkenal, syukur membantu individu untuk:
1. Mengurangi Stres dan Depresi
Orang yang bersyukur lebih fokus pada aspek positif dalam hidup mereka. Hal ini mengurangi kecenderungan untuk overthinking terhadap kekurangan atau masalah, yang sering menjadi penyebab utama stres dan depresi.
2. Meningkatkan Kepuasan Hidup
Dengan mensyukuri apa yang dimiliki, seseorang cenderung merasa lebih puas dan bahagia. Sebaliknya, orang yang selalu membandingkan dirinya dengan orang lain akan merasa kurang bahagia, meskipun memiliki segalanya.
3. Meningkatkan Relasi Sosial
Syukur juga memperkuat hubungan antarindividu. Dengan bersyukur atas kebaikan orang lain, seseorang menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan bermakna.
Azab Kegelisahan: Penyakit Zaman Modern
Dalam konteks psikologi, kegelisahan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh mereka yang tidak bersyukur dapat dianggap sebagai bentuk azab modern. Hal ini sering terlihat dalam budaya materialisme dan konsumtivisme, di mana kebahagiaan diukur dari apa yang dimiliki. Namun, seiring dengan meningkatnya standar hidup, tingkat kepuasan justru menurun. Individu yang tidak bersyukur terjebak dalam "hedonic treadmill," yaitu kecenderungan untuk selalu menginginkan lebih tanpa merasa puas.
Syukur sebagai Terapi Jiwa
Menerapkan syukur dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya sebuah kewajiban agama, tetapi juga terapi jiwa yang efektif. Berikut adalah langkah-langkah praktis yang dapat diambil:
1. Refleksi Harian
Mengingat nikmat yang dimiliki setiap hari, baik yang besar maupun kecil, membantu membangun rasa syukur. Dalam Islam, shalat lima waktu adalah momen refleksi harian yang ideal.
2. Menghindari Perbandingan
Nabi Muhammad ﷺ bersabda: "Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian, dan janganlah melihat kepada orang yang berada di atas kalian, karena hal itu akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah." (HR. Muslim). Dengan menghindari perbandingan yang tidak sehat, seseorang dapat fokus pada apa yang telah diberikan Allah kepadanya.
3. Berbagi Nikmat
Syukur bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memberi. Berbagi nikmat dengan orang lain, baik melalui sedekah maupun perbuatan baik, memperkuat rasa syukur dalam hati. Sebagaimana Imam Ja'far pernah berkata: bersyukur bila tak diberi, ketika diberi engkau berbagi.
Syukur adalah kunci yang membuka pintu kebahagiaan sejati. Sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur'an dan dibuktikan oleh psikologi modern, rasa syukur tidak hanya meningkatkan nikmat, tetapi juga melindungi jiwa dari azab berupa kegelisahan dan ketidakbahagiaan. Dalam dunia yang penuh dengan tekanan dan ketidakpuasan, syukur menjadi jawaban universal untuk mencapai ketenangan hati dan kebahagiaan. Dengan bersyukur, manusia tidak hanya memenuhi kewajiban spiritualnya, tetapi juga meraih kehidupan yang lebih bermakna dan sejahtera.