Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Berita Utama > Suluk dan Seni, Jalan Sunyi Menuju Cahaya

Suluk dan Seni, Jalan Sunyi Menuju Cahaya

Berita Utama | 4 jam yang lalu
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
Suluk dan Seni, Jalan Sunyi Menuju Cahaya

Oleh: ZA Zen 
Pemerhati Seni dan Budaya

Bismillahirrahmanirrahim.

Tahukah kita, masa paling penting dalam hidup manusia justru terjadi di usia 0 sampai 7 tahun, saat akalnya belum berkembang, logikanya belum bekerja, dan ia belum pandai berkata-kata. Tapi justru di masa itulah, sesuatu yang jauh lebih dalam tumbuh dengan pesat: hati, atau yang dalam bahasa ruhani disebut qalbu, dimensi bawah sadar yang langsung terhubung dengan Tuhan.

Anak-anak hidup dengan damai, banyak tidur, sedikit bicara, namun bahagia. Karena mereka hidup sepenuhnya dari kedalaman jiwa. Dari fitrah. Sebuah cahaya suci yang Tuhan titipkan di dalam hati setiap manusia.

Ilmu modern sering melupakan bagian ini. Kita terlalu mengandalkan nalar dan akal sadar, padahal itu hanya mewakili 5% dari keseluruhan kesadaran manusia. Yang 95% lainnya tersembunyi dalam alam bawah sadar. Di situlah letak kebijaksanaan terdalam manusia.

Maka para nabi, para utusan Tuhan, tidak hanya membawa ajaran, tetapi membawa cara belajar yang menghidupkan hati. Mereka bukan sekadar pendakwah, tapi pendidik ruhani.

Nabi Muhammad SAW, sebelum menerima wahyu, berkhalwat atau menyendiri di Gua Hira. Beliau tidak menyusun buku, tidak tampil berdebat di forum, tetapi memilih diam, menyepi, dan menyimak bisikan semesta. Ia membuka diri, bukan kepada dunia luar, melainkan kepada langit dalam dirinya, kepada Allah, Sang Pencipta kita semua, Tuhan yang kita sembah dan taati. Dari suluk yang khusyuk dan sunyi itulah wahyu pertama turun. Dari keheningan yang suci itulah peradaban besar manusia dimulai.

Suluk atau jalan sunyi menuju cahaya adalah metode kenabian untuk mengaktifkan kembali fitrah manusia. Ia adalah proses menata batin, menyambung kembali kesadaran terdalam dengan asalnya yang ilahiah. Ini bukan sekadar ritual atau laku spiritual, tapi cara belajar yang lebih tinggi. Belajar dari keheningan, dari kejernihan, dari getaran hati yang paling halus.

Dan inilah yang sejatinya dilakukan oleh para seniman agung.

Seni, pada hakikatnya, adalah suluk yang menjelma rupa. Ia bukan sekadar ekspresi estetika, tapi bahasa jiwa. Ia bukan hanya hiburan, tapi pengingat. Seniman sejati, entah ia pemain teater, penulis puisi, pemahat, pemusik, atau sutradara film, adalah penempuh jalan sunyi. Ia mencipta bukan semata untuk mengesankan, tapi untuk menggugah.

Dalam sebuah pertunjukan teater yang benar-benar menyentuh, bukan hanya teknik akting yang bicara, tapi jiwa para pelakunya. Dalam lagu yang benar-benar menggetarkan, bukan hanya iramanya yang merasuk, tapi ada kedalaman makna yang menyala. Di situlah suluk terjadi di atas panggung. Di situlah karya seni menjadi jalan pulang menuju hati.

Zaman kita hari ini sedang bising oleh debat, oleh data, oleh distraksi. Tapi manusia tidak hanya butuh informasi. Manusia rindu resonansi. Rindu disentuh oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan.

Itulah seni. Itulah suluk. Dan itulah warisan para nabi yang perlu kita hidupkan kembali melalui karya, melalui laku, melalui cara hidup yang lebih jernih dan bermakna.

Maka kepada saudara-saudaraku para seniman di seluruh tanah air:
Sebelum kita berkarya, mari kita bersuluk terlebih dahulu. Mari kita tundukkan hati dan bertanya jujur kepada diri: untuk siapa sesungguhnya kita berkarya? Apakah kita telah benar-benar mengabdi sebagai hamba-Nya? Sebab karya terbaik tidak lahir dari kegelisahan ego, tapi dari keterhubungan yang dalam dengan Tuhan.

Jangan buru-buru mencipta. Tenangkan jiwa. Bersuluklah. Maka ketika kita kembali ke panggung, ke kanvas, ke layar, ke lensa, atau ke panggung dunia sekalipun, segala yang kita sampaikan akan lebih jernih, lebih luhur, dan benar-benar menyentuh.

Jadikan seni kita bukan hanya sebagai tontonan, tapi pengingat fitrah. Jadikan ia sebagai cahaya yang tak memekakkan telinga, tapi menerangi hati. Jadikan suluk sebagai sumber kekuatan kreatif, spiritual, dan intelektual yang menyatu.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

Tulisan ini terinspirasi dari Jurnal Suficademic: “Suluk, Metode Akademik Kenabian” oleh Sayyid Muniruddin.


RELATED POST


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER