KABARINDO, JAKARTA - Menjelang kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, tiba-tiba Gemoy dan Santuy menjadi diksi di dalam politik, hal ini diungkapkan M. Subhan SD
Dr M Subhan SD, seorang kolumnis dan mantan Kepala Desk Politik Harian Kompas, co-founder Palmerah Syndicate dan Direktur PolEtik Strategic,
dalam nalar politiknya yang ditayangkan di visualtv.live
Subhan SD memaparkan bahwa kini politik Gemoy dan Santuy tiba-tiba menjadi bahasa gaul yang populer menjelang pilpres 2024. Bagaimana kita membaca Gemoy dan Santuy ini, fenomenanya seperti apa, tanya Subhan?
Panggung politik adalah panggung pencitraan semua dibangun dipanggung politik sesuatu yang terbaik, sesuatu yang paling bagus, sesuatu yang paling asik, sesuatu yang paling enak.
Pencitraan itulah yang sampai saat ini menjadi konsumsi di panggung politik. Pencitraan itu, Subhan menjelaskan yang membuat semua kandidat mengalami branding.
"Biasanya ada pemimpin yang dicitrakan, katakanlah seorang populis juga dicitrakan dia seorang yang begitu dekat dengan keluarga bahkan dia menjadi religius, tetap ada juga pemimpin yang dicitrakan dengan wataknya yang keras dengan kepribadian yang labil, macam-macam kita dapatkan di panggung politik," paparnya.
Kita melihat, lanjutnya Subhan misalnya bagaimana pada pertarungan pilpres yang lalu. Presiden Jokowi dicitrakan sebagai figur yang apa adanya, yang dianggap banyak orang waktu itu sebagai figur yang orisional, yang jauh dari kesan-kesan formal atau resmi.
Presiden Jokowi saat itu sebagai sosok telah melahirkan sebuah citra yang baru, yang lebih dekat ke masyarakat, yang lebih populis yang lebih menyentuh rakyat dan tidak berjarak dengan rakyat.
Pada satu sisi melihat bahwa ada pemimpin yang selalu digambarkan dengan tegas. Misalnya Prabowo Subianto, selalu digambarkan sebagai orang yang keras, reaktif.
Karena melihat tak lepas dari backgroundnya sebagai militer, bahkan banyak sekali beberapa kasus meliputi dirinya. Misalnya soal kasus HAM, itulah yang dua kali pilpres yang menjadi citra diantara dua tokoh ini.
"Tetapi pada Pilpres 2024, pertarungan yang berbeda. Sekarang kita melihat pak Prabowo digambarkan sebagai sosok yang Gemoy, sosok yang Santuy. Kira-kira ini adalah fenomena apa, kita tahu bahwa Gemoy dan Santuy itu adalah Plesetan bahasa gaul yang anak muda sekarang. Gemoy misalnya berangkat dari menggemaskan, sesuatu yang lucu atau ada makna imut disitu," terang Subhan.
"Kemudian Santuy, itu plesetan dari santai artinya apa, kita bebas tidak usah teganglah, maka muncullah sekarang istilahnya berpolitik dengan riang gembira. Nah upaya Gemoy dan Santuy ini adalah branding, jadi mencitrakan kembali sesuatu yang berbeda, kita melihat pak Prabowo dahulu yang digambarkan sebagai sosok yang tegas, keras dengan berbagai backgroundnya, tapi sekarang digambarkan sebagai sesuatu yang menggemaskan, lucu, imut sesuatu yang berbeda, yang ini justru dekat kepada anak-anak muda sekarang, milenial, anak-anak generasi Z, yang menjadi pemilih paling banyak pada Pilpres 2024 nanti," bebernya lagi.
Pencitraan pada pemimpin itu memang berbeda-beda setiap zamannya, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan saat itu.
"Kita melihat Gemoy dan Santy adalah citra yang lain. Gemoy dan Santuy ini juga ada sesuatu yang kita kritisi, ini berada pada taraf yang mungkin pada orang bilang hanya gimmic politik saja, mungkin bicara pada soal tataran hal-hal yang sederhana dan sepele. Padahal bangsa ini melalui Pilpres adalah membutuhkan hal-hal yang subtansial, prinsip sehingga kita bisa memecahkan persoalan-persoalan itu," imbuh Subhan.
Gemoy dan Santuy ini yang kemudian diikuti dengan gaya para pemimpin berikutnya ada kalimat "nanti kita gemoyin aja atau kita jogetin aja" itu adalah jawaban-jawaban yang ada saat ini. Jadi ini ada pada tataran gimmick politik bukan soal yang subtansial.
Pada sisi lain, melihat bahwa jika orang misalnya dipertanyakan kepada pemimpin, dan setiap yang bertanya membutuhkan jawaban tetapi hanya mendapatkan jawaban digemoyin atau dijogetin saya kira ini adalah hal yang sangat mubazir, karena rakyat membutuhkan gagasan, rakyat membutuhkan diskursus yang baik, rakyat membutuhkan narasi bagaimana seorang pemimpin itu memberikan solusi ke depan, sehingga rakyat bisa memilih bahwa calon pemimpin ini yang akan mereka pilih," pungkasnya. Foto: Tangkapan Layar VisualTV