Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

-advertising-

Beranda > Iptek > Peran Radio, Memitigasi Bencana Sekaligus Butuh Perhatian

Peran Radio, Memitigasi Bencana Sekaligus Butuh Perhatian

Iptek | Rabu, 28 Februari 2024 | 22:12 WIB
Editor : Hauri Yan

BAGIKAN :
Peran Radio, Memitigasi Bencana Sekaligus Butuh Perhatian

KABARINDO, SEMBALUN -- Kehadiran media baru (media berbasis internet) ikut menambah daftar masalah media arus lama seperti radio. Bahkan, saat ini banyak radio yang beroperasi seperti pepatah lama “Hidup segan, mati tak mau”. Padahal, eksistensinya sangat dibutuhkan terutama untuk masyarakat di wilayah rawan bencana seperti di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Salah satu radio yang tetap eksis bersiaran di NTB meskipun secara finansial tak menguntungkan yakni Rinjani FM. Radio yang bersiaran di kaki Gunung Rinjani ini, hidup hanya dengan mengandalkan sokongan tunggal dari pemiliknya. Kendati demikian, perannya masih jadi andalan terlebih saat terjadi bencana gempa bumi di wilayah pulau Lombok di 2018 lalu.

“Tepatnya tanggal 30 Juli 2018 sekitar pukul 08.00 pagi. Waktu itu ada gempa pertama dan saya ada di Mataram. Pada saat itu sore hari. Besok paginya, terjadi gempa susulan yang besar dan pusat gempanya ada di Obel-obel. Pada saat kejadian, orang-orang belum tahu kabar yang terjadi. Kebetulan siaran radio kami menjangkau daerah tersebut,” kenang Gaguk Santoso, pemilik Radio Rinjani FM di acara Press Camp KPI Pusat di desa Sembalun Lawang, Lombok Timur, NTB, Minggu (25/2/2024).

Sekitar jam 11 siang, pria yang hampir seluruh hidupnya mengurusi radio ini, mendapatkan informasi dari salah satu penggemar radio Rinjani FM di tempat kejadian. Penggemar tersebut melaporkan situasi dan kondisi yang terjadi di wilayahnya pasca gempa.

“Satu kecamatan hampir rata tanah. Korbannya juga banyak. Belum ada bantuan yang masuk,” ujar Gaguk sembari membenarkan letak kaca matanya yang miring lantas meneruskan cerita.

Setelah mendapatkan kabar itu, Dia dan tim segera berkemas seadanya lalu berangkat menuju ke desa Obel-obel. “Saya hanya membawa uang tak lebih 2 juta, beberapa kardus mie instan, dan dua tenda,” katanya.

Sesampainya di lokasi, betapa terkejutnya Gaguk melihat kondisi saat itu. Hampir sebagian besar rumah hancur. Banyak korban meninggal bergelimpangan begitu saja. Korban luka dan patah tulang juga belum ditangani.

“Dua tenda yang saya bawa jadi rebutan. Mereka juga belum makan karena memang tidak ada makanan karena rumah mereka hancur. Bahkan, saya harus membantu seorang ibu yang baru melahirkan yang bayinya masih merah. Kami masukan ke tenda. Baru setelah magrib tim koramil masuk ke lokasi bencana. Malam itu, gelap sekali,” tutur Gaguk.

Pengalaman yang diceritakan Gaguk menguatkan jika siaran radio masih efektif dalam memitigasi kebencanaan. Terlebih dengan modelnya siaran yang bisa interaktif. Jadi informasi maupun berita tentang bencana atau apapun dapat disampaikan secara langsung oleh pendengarnya.

Sayangnya, posisi sentral radio di tengah kebencanaan tidak setangguh kondisinya. Saat ini, banyak radio mengalami kesulitan untuk bertahan hidup dan bahkan gulung tikar.

“Kondisi kami para pelaku usaha radio sangat memprihatinkan. Sudah setengah mati. Jadi, mohon dari KPI atau pemerintah, sekiranya kita dapat diperhatikan. Kami bisa hidup karena ditopang usaha lain. Tapi yang lain faktanya begitu itu. Kalau kita tidak ada kan lucu juga,” tutup Gaguk Santoso penuh harap. Red dari KPI Pusat


TAGS :
RELATED POSTS


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER