Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi.
Direktur Dehills Institute
KABARINDO, JAKARTA - Keputusan Gus Miftah untuk mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden dalam Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan adalah langkah besar yang penuh dengan pesan mendalam. Di tengah pusaran kontroversi yang memicu polemik publik, Gus Miftah menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar seorang tokoh agama, tetapi juga seorang pemimpin yang mengutamakan kedamaian dan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Keberanian untuk Melepaskan Demi Kebaikan Bersama
Mundur dari posisi strategis bukanlah keputusan yang mudah, apalagi ketika jabatan itu menawarkan akses, pengaruh, dan tanggung jawab besar. Namun, Gus Miftah, dengan kebesaran jiwa, memilih langkah ini untuk meredam konflik dan fitnah yang terus berkembang. Langkahnya bukan tanda kelemahan, melainkan cermin dari kepercayaan diri seorang pemimpin sejati yang tidak gentar kehilangan posisi demi menjaga keharmonisan masyarakat.
Ini adalah bukti bahwa kelas Gus Miftah tidak main-main. Ia tidak terjebak dalam kepentingan jangka pendek atau kemewahan kekuasaan. Sebaliknya, ia memilih untuk berdiri di atas prinsip dan keyakinannya bahwa kedamaian dan kerukunan lebih penting daripada sekadar mempertahankan jabatan.
Huru-Hara yang Diorkestrasi: Apakah Mungkin Berakhir?
Di tengah atmosfer negatif dan fitnah yang berkembang, muncul pertanyaan: apakah langkah ini cukup untuk meredakan huru-hara yang diorkestrasi? Melihat rekam jejak para pembenci dan aura negatif yang terus membayangi, tantangan untuk mengakhiri polemik ini masih sangat besar. Fitnah dan kebencian tidak akan berhenti dengan satu keputusan, karena ia sering kali berakar pada hasrat untuk merusak, bukan untuk membangun.
Namun, langkah Gus Miftah adalah sinyal kuat bahwa pemimpin sejati tahu kapan harus berkorban demi tujuan yang lebih besar. Ia tidak ingin menjadi sumber perpecahan, melainkan jembatan bagi rekonsiliasi. Langkah ini harus menjadi teladan, tidak hanya bagi tokoh agama, tetapi juga bagi para pemimpin lain di negeri ini.
Menghadapi Aura Negatif dengan Keteguhan dan Kearifan
Aura negatif yang mengiringi kritik terhadap Gus Miftah bukan hanya tantangan bagi dirinya, tetapi juga bagi masyarakat kita. Ini mengingatkan kita bahwa dialog yang konstruktif dan saling memahami adalah jalan terbaik untuk mengatasi perbedaan. Kebencian tidak akan menghasilkan kedamaian; sebaliknya, ia hanya akan memperburuk keretakan sosial.
Dalam situasi ini, publik juga memiliki peran penting. Kita harus berhenti menjadi konsumen pasif dari narasi kebencian. Sudah waktunya kita berdiri di atas nilai-nilai yang diajarkan oleh agama: kedamaian, penghormatan, dan cinta kasih. Langkah Gus Miftah adalah undangan bagi kita semua untuk melakukan refleksi mendalam, untuk memilih jalan yang lebih baik dalam menyelesaikan konflik.
Kebesaran Jiwa yang Patut Diteladani
Gus Miftah telah menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin bukanlah pada seberapa lama ia memegang jabatan, tetapi pada seberapa besar ia rela melepaskan demi kebaikan bersama. Langkahnya mengingatkan kita semua bahwa jabatan adalah amanah, dan terkadang, menjaga kehormatan amanah itu berarti harus rela meninggalkannya.
Semoga langkah ini menjadi awal dari meredanya huru-hara yang terjadi, dan menjadi pelajaran bagi kita semua tentang pentingnya kedamaian, dialog, dan kebesaran jiwa dalam menghadapi konflik. Sebab, seperti yang diajarkan oleh para ulama, “Kekuatan bukan terletak pada berdebat, tetapi pada kemampuan untuk membawa hati manusia menuju kedamaian.”