Oleh: M Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
Ada teman bertanya, “Bagaimana rasanya menjadi minoritas? Kontan tenggorokan serasa tercekat. Lidah menjadi keluh. Sebagai Muslim, warga Indonesia pula, saya tak punya jawaban. Cuma teringat pengalaman ketika mengunjungi La Paz, Bolivia, beberapa waktu lalu.
Di ketinggian sekitar 3.600 meter di atas permukaan laut (mdpl), di La Paz terdapat satu masjid. Satu masjid lagi sudah tak beroperasi. Bangunan masjid pun berupa gedung rumah berwarna putih empat lantai yang terletak di Jalan Villa Guachalla. Berada di jalan menurun, sebagaimana kebanyakan kontur lahan di La Paz, tampak seperti bangunan pada umumnya.
Bolivia, di jantung Amerika Selatan, mayoritas penduduknya memeluk Katolik. Komposisinya: Katolik 65%, Kristen 19%, sisanya berbagai agama dan ateis (Statista.com, 2023). Muslim di Bolivia diperkirakan paling banyak 2.000 orang.
Dari jumlah penduduk Bolivia sebanyak 12,5 juta jiwa, Muslim hanya 0,016%. Diinisiasi oleh imigran Palestina pada era tahun 1970-an. Namun, kebebasan beragama dijamin konstitusi Bolivia yang juga melarang diskriminasi agama.
Di tengah lingkungan mayoritas non-Muslim, bersyukur masih bisa melaksanakan ibadah dengan tenang. Masih bersyukur pula karena bangunan masjid dapat terlihat lewat banner ukuran sedang terbentang di tembok bertuliskan huruf Arab: “Bismillahirrahmanirrahim Masjid As-Salam (Mezquita As-Salam)”.
Setiap salat Jumat, paling banter ada 17-20 jemaah. Saat salat Idul Adha, saya menghitung hanya sekitar 40 orang jemaah. Tapi sangat multikultural: ada Palestina, Mesir, Irak, India, Bolivia, dan lainnya. Saya satu-satunya dari Indonesia. Untungnya, imam merangkap khatib, dr Ayman, asal Palestina, setiap berkhotbah selalu bersemangat menyerukan syiar Islam: amar ma’ruf, nahi munkar. Tapi, bagaimana pun, ada rasa sunyi, tak segegap-gempita salat Id di Tanah Air.
Hanya perasaan itu yang bisa menjawab pertanyaan teman di atas. Tak ada kata-kata yang mampu terlontar. Kita memang miris melihat ada persekusi terhadap kelompok minoritas (kelompok agama). Di lingkungan mayoritas, minoritas tentu punya problem.
Di Indonesia yang mayoritas Muslim, sudah umum didengar kelompok minoritas menemui banyak masalah. Sebaliknya, hal sama dialami Muslim di negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) yang mayoritas non-Muslim.
Islam sejatinya mengajarkan penghormatan terhadap non-Muslim (minoritas). Nabi bersabda, “Barang siapa menyakiti seorang dzimmi maka sungguh dia telah menyakitiku. Barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah (HR. Imam Thabrani). Dzimmi adalah non-Muslim yang hidup damai berdampingan. Ada lagi non-Muslim yang suka memerangi umat Muslim, disebut harbi . Dengan dua kategori non-Muslim itu, jadi jelas bagaimana Muslim harus bersikap.
Perlakuan terhadap non-Muslim (dzimmi) paling epik diperlihatkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Menyambung tulisan saya kemarin, ketika Umar menaklukkan Yerusalem (Illiya), ada sejarah menarik yang menjadi pelajaran penting. Tidak seperti para penakluk sebelumnya, Umar tidak mengusir orang-orang yang ditaklukkan, tetapi justru memberi perlindungan bahwa orang-orang non-Muslim (dzimmi) akan aman tinggal di Yerusalem. Al-Quran menegaskan: “Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS. Al-Anfal: 61).
Di bawah cahaya Islam, Umar membawa kesadaran akan kehidupan kemanusiaan yang penuh rahmat. Orang-orang Kristen yang ditaklukkan tetap diberi perlindungan. Tidak diusir, apalagi dihancurkan. Mereka dijamin kebebasannya untuk terus beribadah. Bahkan Yahudi yang diusir oleh Romawi Bizantium pun diizinkan kembali ke Yerusalem, dengan jaminan Umar. Mereka juga diizinkan untuk beribadah. Bahkan Umar memberi jaminan dengan Perjanjian Umar (Al-Uhda Al-Umariyah):
Penggalan perjanjian itu berbunyi; “Bismillahirrahmannirahim. Inilah jaminan keamanan yang telah diberikan hamba Allah, Umar, Panglima Beriman kepada orang-orang Illiya. Dia telah memberi mereka jaminan keamanan bagi diri mereka sendiri untuk harta benda mereka, gereja mereka, salib mereka, orang sakit dan sehat di kota, dan untuk semua ritual yang termasuk dalam agama mereka.
Gereja mereka tidak akan dihuni oleh umat Islam dan tidak akan dihancurkan. Baik mereka, maupun tanah tempat mereka berdiri, atau salib mereka, atau harta benda mereka tidak akan dirusak. Mereka tidak akan dipaksa bertobat. Tidak satu pun dari mereka disakiti….”
Islam benar-benar meneguhkan toleransi yang luar biasa.
Sebuah bukti sejarah yang tak bisa dihapus. Khalifah Umar telah memberi pelajaran sangat penting mengenai perlakuan terhadap non-Muslim. Muslim harus menyadari betul fondasi yang ditanamkan Umar itu. Dan non-Muslim, terutama Yahudi zaman sekarang seharusnya membuka mata bahwa Khalifah Umar-lah yang membolehkan mereka kembali ke Yerusalem. Umar telah mewariskan toleransi dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan (Subhan SD, Negeri Para Nabi: Perjalanan Spiritual, 2021).
Menengok keadaan saat ini, tatkala warga Palestina dan Muslim di Yerusalem dibatasi ruang geraknya, itu adalah pengingkaran terhadap sejarah emas yang ditorehkan kaum Muslim. Andai saja, manusia mau belajar dari sejarah, tentunya takkan terjungkal ke lubang sama untuk kedua kali. Dan, di bawah gerimis malam yang dingin di puncak Gunung Moriah, Yerusalem, ketika ikut diperiksa oleh tentara Israel saat hendak menuju kompleks Masjidil Aqsa/Baitul Maqdis untuk qiyamul lail, saya terbayang dr Ayman di La Paz – berjarak 12.193 kilometer – yang tetap teguh menyiarkan Islam meskipun minoritas.