Mengulik Pemikiran & Sikap Pemilih Muda pada Pemilu 2024
Surabaya, Kabarindo- Banyak pemilih muda yang akan nyoblos untuk pertama kali pada Pemilu 2024 yang akan berlangsung pada 14 Februari. Apakah mereka sudah nyoblos dengan cerdas dan bijak? Jangan-jangan semua kandidat dicoblos, atau asal nyoblos, atau tidak ada yang dicoblos sama sekali.
Sejak dua tahun terakhir Kawula17, sebuah inisiatif yang mengajak anak muda berpartisipasi aktif dalam pemilu, mengadakan survei secara reguler, dan kerap berdiskusi atau mengobrol langsung seputar politik dengan orang muda. Mereka menemukan banyak orang muda yang tidak terlalu paham soal politik, termasuk tentang kenapa mereka harus ikut pemilu. Di sisi lain, ada sejumlah orang muda yang paham soal politik tapi memilih untuk golput.
“Mereka bilang, program yang diusung sama saja. Kami pikir, pasti ada bedanya,” ujar Dian Irawati, Co-Founder Kawula17.id, yang berlatar belakang market research.
Kawula17 konsisten memberikan edukasi tentang politik kepada orang muda dan berusaha agar mereka tidak golput, hingga kemudian meluncurkan Voting Advice Application (VAA) untuk membantu pemilih menentukan pilihan partai dan presiden.
Remaja tak paham istilah politik
Kawula17 melakukan survei nasional setiap 3 bulan yang diikuti 400-600 responden usia 17-44 tahun. Pada kuartal III/2023, 80% responden menyatakan akan ikut nyoblos pada Pemilu 2024, sementara sebagian kecil masih bingung akan nyoblos atau tidak, dan sebagian sangat kecil sudah yakin tidak akan nyoblos.
Banyak remaja usia 17 tahun yang tidak memahami istilah seputar politik, misalnya oposisi, progresif dan konservatif. Menurut Dian, ketika usia 16 tahun, seharusnya remaja sudah mendapatkan civic education (pendidikan kewarganegaraan). Kenyataannya, ketika mengunjungi sekolah, ia masih sering mendapat pertanyaan yang cukup mencengangkan.
“Kenapa sih kita harus memilih DPR? Memangnya kita punya suara apa? Siapa yang bisa memastikan DPR akan memenuhi janji? Mereka belum melihat apa pentingnya memilih DPR. Sepertinya ada yang terputus dengan pendidikan kewarganegaraan kita, sehingga kita belum bisa mendekatkan alasan, ini lho, kenapa kita perlu ikut pemilu,” kata Dian.
Sementara itu, bicara tentang oposisi, di beberapa pemilu terakhir, calon presiden (capres) lebih menciptakan lingkungan politik tanpa oposisi. Mereka lebih bersifat merangkul dan berkoalisi, sehingga remaja 17 tahun tidak mengerti soal oposisi. Mereka berpikir, oposisi itu buruk, karena pasti akan menciptakan konfrontasi setiap saat. Padahal, dalam hidup berbangsa dan bernegara ini dibutuhkan oposisi, sehingga ketika membuat sebuah kebijakan, pembuatnya bisa melihat suatu isu dari berbagai perspektif.
Kenapa susah pilih partai?
Oktafia Kusuma, Research Fellow Kawula17, mengatakan tingginya angka kesediaan untuk berpartisipasi dalam pemilu bisa diartikan sebagai ketertarikan orang muda yang terbilang tinggi terhadap politik.
“Tapi berdasarkan survei satu tahun terakhir, ketika ditanya apakah sudah punya pilihan atau belum, orang muda di bawah usia 35 tahun selalu menjadi kelompok usia yang paling banyak belum punya pilihan,” katanya.
Dian menuturkan, ketika dulu pertama kali ikut pemilu, ia juga bingung memilih partai. Padahal ketika itu partainya hanya tiga. Sementara sekarang ini ada 18 partai nasional. dan harus memilih anggota DPD. Masalahnya, tidak tersedia guideline untuk orang muda yang baru pertama kali akan ikut pemilu.
Memang bukan hal yang mudah bagi orang muda untuk pilih partai. Salah satunya karena gempuran informasi dan kampanye yang malah bikin bingung. Hal ini mendorong Kawula17 mengadopsi aplikasi VAA yang membantu memberikan pemahaman tentang posisi suatu partai tentang berbagai isu, termasuk sosial, ekonomi, politik dan lingkungan. Lewat berupa kuis, orang muda diharapkan bisa menentukan pilihan akan partai yang paling gamification sesuai dengan preferensi dirinya.
“Kami ingin mengedepankan isu, bukan ideologi. Dengan begitu, kita bisa melihat bagaimana posisi partai terhadap suatu isu, sehingga pembicaraan antara anak dan orang tua di meja makan tidak lagi tentang identitas,” kata Dian.
Misalnya, ketika bicara soal KPK, pemilih diberi tiga pilihan posisi, yaitu independen, netral dan tidak independen. Pilihan jawabannya selalu begitu, agar dapat merepresentasikan posisi mana yang lebih cocok dengan pemilih sesuai dengan isu yang diberikan. Berdasarkan pilihan pemilih, pada akhir kuis akan muncul saran soal partai yang gagasannya sejalan dengan pemilih dalam bentuk persentase. Misalnya, 71% partai A. Artinya, anda disarankan untuk memilih partai A. Kenapa persentase partai A tertinggi? Karena, pilihan anda akan jawaban suatu isu banyak direpresentasikan oleh partai A.
“Kalau ternyata yang awalnya ingin dipilih itu cocok dengan rekomendasi, bagus. Kalau tidak, pemilih bisa melihat lagi posisi mereka dan posisi partai yang ingin mereka pilih. Paling tidak, ada bayangan sejauh mana posisi mereka sebagai pemilih dan partai yang harusnya mengusung suara mereka. Kami hanya memberikan saran atau nasihat. Dan kami sarankan untuk pilih dulu partainya, baru calegnya,” kata Dian.
Sambutan soal VAA Partai Politik ini cukup fantastis. Hanya dalam waktu dua hari, Kawula17 sudah memberikan 105.000 rekomendasi kepada pemilih.
“Kami berharap kuis ini dilihat sebagai sesuatu yang sebanding dengan waktu yang mereka luangkan untuk mengikutinya. Kalau orang muda tertarik, mereka akan ikuti. Kalau kami bisa reach satu orang, lalu dia memberi tahu peer-nya tentang kuis tersebut sebagai langkah awal untuk memilih partai terbaik menurut mereka, ini sesuatu yang luar biasa. Sebab pencarian kebenaran tidak bisa diberi tahu, melainkan harus dicari,” kata Dian.
Pilih presiden lewat kuis
Sukses dengan VAA Partai Politik, pada akhir minggu ketiga Januari 2024, Kawula17 meluncurkan VAA Ca(wa)pres. Pemilih disarankan untuk mengenali programnya, baru menentukan presidennya. Dalam hitungan 72 jam, ada 463.298 rekomendasi diberikan kepada pemilih yang ikut kuis.
“Sambutannya sangat baik. Para pemilih yang ikut kuis kemudian dengan bangga memamerkan hasil kuisnya di media sosial. Sejumlah influencer menghubungi kami dan meminta link untuk mereka share dengan sukarela, karena melihat tool ini berguna bagi orang muda,” kata Dian.
Yang menarik, survei mengungkap, mayoritas pemilih akan memilih presiden dan wakil presiden (wapres) berdasarkan ide atau gagasan yang diperjuangkan. Mereka juga melihat pengalaman kandidat dan jabatan sebelumnya. Mereka tidak lagi mempertimbangkan identitas, misalnya suku atau agama dan penampilan fisik. Hal ini sejalan dengan temuan dari partner Kawula17, Newbie Matters, yang menyebutkan bahwa Gen Z merupakan pemilih rasional.
Kuisnya berisi 15 pertanyaan yang disarikan dari visi-misi masing-masing pasangan presiden dan capres. Sejumlah pertanyaan terbilang sulit, sehingga jawabannya perlu dipikirkan dengan matang dan waktu sedikit lebih lama. Namun hanya dalam waktu sekitar 6 menit, umumnya pemilih akan mendapatkan rekomendasi tentang kandidat yang programnya dinilai paling selaras dengan keinginan pemilih. Banyak orang kemudian menanyakan rekap dari hasil kuis pemilih.
Dian menegaskan, kuis itu dibuat bukan untuk mendapatkan rekap hasil, melainkan memberi kesempatan pada pemilih untuk mempelajari visi dan misi kandidat, membandingkan visi-misi tersebut, kemudian melihat kembali ke diri sendiri, menyelaraskan visi-misi yang paling dekat dengan dirinya. Kenyataannya, ketika orang muda diberi informasi, mereka akan mampu membuat Keputusan. Ini bagian dari kedewasaan berpikir dan berpolitik.
Jeli temukan perbedaan
Kuis untuk memilih partai dan presiden perlu dibuat sedemikian rupa agar mudah dimengerti. Karena itu, pertanyaan kuis harus dibuat dengan kata-kata dan kalimat yang sederhana. Menurut Dian dan Okta, membuat VAA Partai Politik jauh lebih menantang daripada VAA Ca(wa)pres. Mereka harus memilah isu yang relevan dengan orang muda, sebab isu yang dibicarakan di DPR sangat banyak.
“Bagi orang yang memahami tentang lingkungan, pertambangan merupakan isu yang penting. Tapi bagi banyak orang di luar bidang tersebut, pertambangan tidak dinilai penting. Apalagi lokasi tambang di Kalimantan dinilai jauh bagi orang yang tinggal di Jawa, sehingga tidak dianggap relevan,” ujar Dian mencontohkan.
Okta menambahkan, posisi partai tentang suatu isu bisa berubah. Karena itu, tim penyusun kuis selalu mencari konfirmasi ke partai. Isu merupakan suatu hal yang baru diangkat oleh partai. Selama ini partai berkampanye dengan dangdut. Anak muda sekarang beda. Jika disuguhi dangdut, mereka belum tentu mau datang. Karena itu, partai harus berpikir untuk mendekati pemilih dengan cara berbeda.
Untuk VAA Ca(wa)pres, Kawula17 mencermati perbedaan program di antara ketiga pasang kandidat, karena programnya mirip. Saat dipetakan seperti itu, orang jadi tersadar bahwa sebetulnya yang ditawarkan oleh ketiga kandidat tidak berbeda jauh. Maka perlu dicari pembeda yang signifikan untuk membantu orang menentukan pilihan.
“Mencari titik pembeda inilah yang tidak mudah. Misalnya, ada pertanyaan tentang peningkatan kinerja POLRI. Orang bertanya, kenapa jawabannya ada yang tentang kenaikan gaji dan ada yang tentang pemahaman HAM? Memang itu poinnya. Harus ada critical point dari tiga pasang kandidat berbeda, sehingga kemudian pemilih bisa mencocokkan preferensinya dengan tiga pilihan jawaban tersebut,” kata Okta, yang melakukan cross referral ke juru bicara masing-masing kandidat untuk memastikan bahwa mereka tidak salah memaknai visi-misi tersebut.
Dian menambahkan, remaja usia 17 tahun bukan tidak mau melihat atau membaca informasi. Namun cara memberi informasinya selama ini mungkin tidak sesuai dengan keinginan mereka. Karena itu, banyak yang bilang senang sekali tidak harus baca visi-misi calon presiden hingga berpuluh lembar.
“Hanya perlu baca sedikit, lihat yang disukai, lalu cari sendiri info lebih lanjut. Inilah dampak yang kami inginkan,” katanya.
Foto: ilustrasi istimewa