Burger Menu
Logo

KABAR BAIK MENCERAHKAN

Beranda > Berita Utama > Menggagahi Raja Ampat, Melumpuhkan Keseimbangan Ekosistem

Menggagahi Raja Ampat, Melumpuhkan Keseimbangan Ekosistem

Berita Utama | 21 jam yang lalu
Editor : Gatot Widakdo

BAGIKAN :
Menggagahi Raja Ampat, Melumpuhkan Keseimbangan Ekosistem

Oleh: Dr, Transtoto Handadhari

Mantan Dirut Perhutani, Rimbawan dan Alumnus UGM Yogyakarta dan University of Wisconsin at Madison, USA.

Memilukan. Tak ada kata lain yang lebih tepat menggambarkan derita ekosistem pemberi kehidupan mahluk itu.

Ekosistem lingkungan hutan, biodiversiti, kehidupan lautan, penyangga kehidupan, kekayaan sumber daya alam, ruang kesejahteraan masyakat dan rantai kehidupan alam bisa runtuh berantakan.

Manusia memang dengan kehebatan akal budinya bisa berbuat apa saja, merusak dan memutus jaringan sistem kehidupan dengan kemampuannya.

Semakin tak terbatas. Semakin selalu kurang. Manusia dengan akal budinya "semakin jahat".

Hutan sudah dirusak, lingkungan hancur, banjir dan longsor tidak bosan-bosannya menyengsarakan rakyat tak terhitung di mana-mana, terus Raja Ampat, simbol sorga terakhir di ufuk negeri Papua yang amat permai, cantik tak habis dibanggqkan dunia, digagahi untuk atas nama  kebutuhan pembangunan (kekayaan, baca: ketamakan manusia).

Raja Ampat, yang sedang ramai dibicarakan, ternyata sudah sejak tahun 2017 digerayangi tanpa diketahui publik. Keindahannya dan kekayaan alam sedang dibongkar oleh manusia, digali nikelnya yang menyilaukan hati serakah itu.

Bukan hanya di Raja Ampat yang lagi viral sebagai lanjutan "drama" lakon ijazah seseorang yang konon dikaitkan masalah ekosistem surga di Papua Barat ini. Kompromi damai biasanya akan menyela. Entah apa "sesajen"-nya.

Sebagai laiknya, ekosistem dan diversitas yang tidak nampak menghasilkan uang cepat ini tersisihkan dari kemanfaatannya yang hakiki dan sangat penting. Pengusaha menyelesakn nasibnya.

Hancurnya hutan 60 juta hektaare, hilangnya hutan lindung di Jawa yang butuh lindungan  70 persen, hutan hancur karena kebijakan KHDPK dan disepelekan hadirnya. Serta tidak berfungsinya berbagai sumber daya alam sudah layak terjadi. Diperah pengusaha, pemodal dan "perampok" penguasa.

Pengerukan pasir pantai, pengurugan pantai untuk pembuatan daratan gemerlap mewah yang asing dan menjadi diskriminasi sosial yang potensial, penambangan batubara, emas, nikel dan berbagai mineral lainnya, minyak dan gas bumi serta keragaman kekayaan alam negeri ini, biasa diambil tak bersisa. 

Diperas sampai kering-ring. Seperti tak ada sempatnya memiliki kesempatan menumpukkan dan memiliki tabungan super-banyak di alam raya ini.

Kerakusan dan kebiasaan membiarkan, meninggalkan "piring kotor", menyebabkan paska pesta besar, tertinggal sampah, disertai "pemandangan busuk, tanah gundul, gersang dan alang-alang.

Bila pada saat ramai musim logging pada pengusahaan HPH di hutan rimba, meskipun sudah diatur dengan sistem TPI atau TPTI terus dilakukan "tebang cuci mangkok" yang menyebabkan deforestasi terbesar, dan degradasi isi kualitas rimba.

Di areal pertambangan meski sudah ditetapkan aturan reklamasi tambang sesuai lokasi penggaliannnya tetap saja morat-marit, abai. Konon hanya paska tambang di NTB yang patuh merehabilitasi lahan tambang.

Bagaimana paska penambangan milik perusahaan besar di Kalimantan, Sumatera? Dan lainnya?

Sedangkan penambangan timah di Pulau Bangka-Belitung berantakan meninggalkan monumen padang gersang yang luas.

Hampir semua lokasi terbengkalai setelah panenan yang tidak menyisakan "makanan" buat masyarakat, sikat habis, takut kehabisan tanpa mengenal kelestariannya.

Ladang minyak Cepu, Blora, menyisakan bekas-bekas sumur tua saja yang nyaris tidak ada sisa minyaknya buat rakyat. 

Di lokasi logged-over area HPH untung ada suntikan silvikultur khusus dari pengajar UGM Yogyakarta untuk menyuntik kualitas tegakan. Meski perhitungan rente ekonomi-nya berupa pungutan pemerintah disamping nilai serapan oksigen yang harus lebih dicermati.

HTI (hutan tanaman industri) sebagai yang dipelopori anrara lain oleh Sinar Mas dan RAPP menjadi sangat penting untuk pelestarian kayu, hutan, oksigen, pembangunan biodiversitas dan ekosistem. 

Dengan produksinya yang menguntungkan sebagai penghasil pulpa dan kertas itu, HTI berperan sangat strategis.

Sedangkan keseluruhan ekosistem tersebut masih dinomor dua-kan setelah pertambàngan, sebagaimana termaktub dalam  Inpres Nomor 1 Tahun 1970,-an dimana dikatakan apabila ada pertindihan tambang dengan peruntukan (hutan) lainnya, maka tambang didahulukan.

Situasi itu tahun 1970-an, mungkin sudah berbeda. Kala itu modal dana besar dari tambang sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan bangsa yang sedang tumbuh.

Mungkin kita sudah harus mencontoh pola pengelolaan pengusahaan hutan di negara Bagian British Columbia, Kanada di tahun awal 1990-an. Saat itu sudah dibentuk CORE (Comission on Resource and Environmen), wadah legal paguyuban masyrakat yang dilindungi UU yang bertugas mengawasi dan rekomen rencana pemerintah untuk aktivitasnya terhadap hutan dan lingkungan -sosial menyangkut besar, bentuk, estetika dan dampak lingkungan yang tidak bisa diabaikan bahkan oleh pemerintah.

Di Indonesia selayaknya penguasaan konsesi apapun juga bisa dilengkapi dengan penyadangan sumber daya alam, penangkaran, pelestarian plasma nutfah dan kelangsungan kesejahteraan masyarakat.

Satu hal yang saya ingatkan, konservasi ekosistem meskipun juga fleksibel dan berkembang serta menyesuaikan alam, selayaknya dirawat dan dijaga keberadaannya. Kepentingannya yang sering misterius serta belum terdeteksi gunanya membuat agar manusia untuk selalu wajib menjaganya, melestarikannya. Semoga ekosistem mendapat perhatian yang lebih.


RELATED POST


Home Icon


KATEGORI



SOCIAL MEDIA & NETWORK

Kabarindo Twitter Kabarindo Instagram Kabarindo RSS

SUBSCRIBE & NEWSLETTER