Oleh; Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute
KABARINDO, JAKARTA - Pagi itu, percakapan singkat dengan seorang supir taksi online menjadi renungan yang tak terduga. Ketika ia bertanya jalur mana yang saya pilih menuju tujuan, saya menjawab, “Terserah Bapak.” Dia bertanya lagi, “Mau cepat atau lambat?” Saya menjawab, “Tentu yang cepat.” Dengan sigap, ia merespons, “Berarti masuk tol.”
Namun, saat ia memastikan, “Ada kartu e-toll, Pak?” saya menjawab, “Pakai kartu Bapak saja.” Seolah-olah percakapan ini selesai, tetapi sesungguhnya itu hanya permulaan dari refleksi yang lebih besar.
Mengambil jalan tol memang berarti perjalanan lebih cepat, mungkin hemat 5-10 menit dibandingkan jalan biasa. Tapi untuk apa? Waktu yang lebih singkat itu harus ditebus dengan biaya tol—sekitar Rp15 ribu. Jika saya tidak terburu-buru, bukankah saya bisa menyimpan uang tersebut?
Namun di sisi lain, ada implikasi lain yang sering luput dari perhatian. Memilih jalan non-tol berarti supir harus menghadapi macet, menghabiskan lebih banyak bahan bakar, energi, dan bahkan kesabaran. Lima sampai sepuluh menit ekstra di jalan bisa berarti tekanan mental yang lebih besar, manuver di tengah kemacetan, hingga stres yang merayap perlahan. Sebuah keputusan yang terlihat sederhana ternyata memiliki konsekuensi yang lebih rumit bagi orang lain.
Analogi dengan Keputusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%
Mari kita tarik analogi ini ke dalam keputusan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan. Di atas kertas, keputusan ini tampak sederhana: kenaikan pajak untuk menambah pendapatan negara. Namun, seperti pilihan masuk tol tadi, keputusan ini memiliki dampak yang jauh melampaui angka 1% tambahan dari tarif sebelumnya.
Bagi pemerintah, langkah ini tampak seperti solusi cepat untuk meningkatkan anggaran. Namun, bagaimana dengan masyarakat yang harus menanggung beban tambahan tersebut? Biaya hidup akan meningkat, daya beli sebagian kelompok masyarakat akan menurun, dan ekonomi rakyat kecil yang bergantung pada konsumsi masyarakat akan merasakan pukulan berat.
Dan itu belum semuanya. Keputusan ini juga menempatkan pelaku usaha dalam dilema. Mereka harus memilih: menanggung sendiri biaya tambahan ini, yang bisa menggerus margin keuntungan, atau meneruskannya kepada konsumen, yang bisa menurunkan permintaan. Pada akhirnya, tekanan tersebut akan memengaruhi seluruh rantai ekonomi—dari produsen hingga konsumen.
Menyadari Kompleksitas di Balik Keputusan
Seperti percakapan saya dengan supir taksi online, keputusan pemerintah tentang PPN ini mengajarkan bahwa apa yang tampak sederhana sering kali menyembunyikan konsekuensi yang tidak sederhana. Sebuah keputusan tidak hanya tentang angka atau waktu, tetapi juga tentang manusia—tentang bagaimana keputusan itu memengaruhi kehidupan sehari-hari, energi, dan kesejahteraan mereka.
Seandainya dalam percakapan tadi saya lebih reflektif, mungkin saya bisa berkata kepada sang supir, “Kalau jalan biasa tidak terlalu lama, tidak perlu lewat tol.” Keputusan itu akan mengurangi biaya saya, tetapi lebih penting lagi, mengurangi tekanan pada supir—baik secara finansial maupun emosional.
Begitu pula dengan kebijakan publik. Kenaikan PPN memang dapat mendatangkan pendapatan tambahan bagi negara, tetapi apakah negara telah mempertimbangkan sepenuhnya dampaknya terhadap rakyat yang menjadi tulang punggung ekonomi? Dalam politik maupun kehidupan sehari-hari, pertanyaan ini harus selalu menjadi bagian dari setiap proses pengambilan keputusan.
Kebijakan dengan Keseimbangan
Setiap keputusan, baik besar maupun kecil, memerlukan pertimbangan yang melampaui angka-angka dan asumsi cepat. Dalam kasus PPN 12%, pemerintah perlu melihat lebih jauh: apakah ada jalan lain yang lebih bijak untuk mencapai tujuan tanpa memberikan beban tambahan kepada masyarakat?
Keputusan yang bijak adalah keputusan yang mempertimbangkan keseimbangan. Sama seperti perjalanan saya bersama supir taksi online—memilih jalan biasa atau tol bukan hanya soal waktu atau biaya, tetapi juga soal bagaimana keputusan itu memengaruhi semua pihak yang terlibat.
“Dalam setiap keputusan, ada manusia di balik angka-angka. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang melihat lebih dalam, merasakan lebih luas, dan bertindak lebih bijaksana.”
Pertanyaan selanjutnya mewakili siapakah supir itu? Dan mewakili siapakah penumpang itu? Jawaban yang lurus dan benar, supir itu pemerintah. Dan “tuan” yang di antar itu rakyat, kita. Supir kita bayar menuju tujuan kita. Pemerintah itu supir. Jangan dibalik.