Banyak yang mencoba, hanya sedikit yang berhasil. Dan kini, Indonesia menanti apakah 27 Juli nanti, bisa menjadi hari di mana mahkota itu kembali menemukan tuannya.
KABARINDO, JAKARTA - Dalam dunia pacuan kuda, hanya ada satu gelar yang mampu membuat arena sunyi karena takjub, mengguncang lintasan dengan sorak-sorai, dan meninggalkan nama yang tak akan pernah hilang dari buku sejarah: Triple Crown.
Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan berturut-turut. Ia adalah simbol keunggulan mutlak. Mahkota yang hanya bisa dikenakan kuda-kuda terbaik yang pernah menginjak lintasan, ditunggangi joki-joki dengan intuisi luar biasa, dan dipoles tim pelatih dengan nyali besar, serta presisi strategi tingkat tinggi.
Triple Crown adalah istilah untuk menyebut tiga balapan besar dalam satu musim, yang harus dimenangkan oleh seekor kuda pacu berusia tiga tahun.
Karena itulah, seekor kuda hanya punya satu peluang seumur hidup untuk mengejarnya. Tidak bisa memperoleh lebih cepat, tidak juga ada musim kedua atau ulangan. Kesempatan itu datang hanya sekali dan pergi secepat garis finis.
Meraih Triple Crown sangat sulit. Pertama, karena jarak berbeda, setiap balapan punya jarak tempuh berbeda. Artinya, kuda harus punya kecepatan sekaligus daya tahan.
Kedua, waktu pemulihan singkat. Balapan biasanya digelar dalam rentang waktu relatif dekat. Pemulihan fisik jadi tantangan besar. Lalu persaingan ketat. Semua kuda terbaik usia 3 tahun ikut serta. Tidak ada lawan mudah.
Dan tidak lupa faktor eksternal, seperti cuaca, trek, start buruk, hingga tekanan media bisa memengaruhi performa.
Tidak mengherankan jika dalam sejarah panjang pacuan kuda di seluruh dunia, hanya segelintir yang berhasil mengunci tiga kemenangan dan menyematkan gelar Triple Crown Champion di namanya.
Triple Crown di Beberapa Negara
Konsep Triple Crown hadir di berbagai belahan dunia sebagai simbol supremasi pacuan kuda. Di Amerika Serikat, hanya kuda yang mampu menaklukkan tiga balapan legendaris: Kentucky Derby (1.600 meter), Preakness Stakes (1.900 meter), dan Belmont Stakes (2.400 meter), dalam rentang waktu dua bulan, yang berhak menyandang gelar bergengsi ini.
Dalam sejarah satu setengah abad Triple Crown Amerika Serikat, hanya 13 kuda yang berhasil mencatatkan namanya sebagai juara sejati. Terakhir kali diraih Justify pada 2018, menyusul keberhasilan American Pharoah tiga tahun sebelumnya di 2015, yang mengakhiri masa penantian selama hampir 40 tahun setelah peraih gelar terakhir.
Inggris adalah tempat kelahiran pacuan kuda modern, namun di sinilah pula Triple Crown seperti 'mitos'. Tiga balapan yang harus dimenangkan adalah: 2000 Guineas Stakes (1.600 meter), The Derby (2.400 meter), St. Leger Stakes (2.900 meter).
Tantangan utamanya bukan hanya soal jarak yang makin panjang, tapi juga karena standar kualitas yang luar biasa tinggi. Hingga kini, hanya 15 kuda yang pernah sukses menyapu bersih ketiganya. Nijinsky adalah nama terakhir dalam daftar itu, sejak tahun 1970.
Sejak saat itu, banyak yang nyaris, tapi tak satupun bisa menuntaskan. Yang paling dramatis mungkin adalah Camelot pada 2012, gagal di langkah terakhir St. Leger dan membuat publik Inggris menelan kekecewaan.
Kita lihat di Jepang, Triple Crown dikenal sebagai Sambakan. Terdiri dari:Satsuki Shō (2.000 meter), Tokyo Yūshun / Japanese Derby (2.400 meter), Kikuka Shō (3.000 meter).
Dibentangkan dari bulan April hingga Oktober, mahkota ini menuntut konsistensi selama setengah tahun, sesuatu yang sangat berat dalam dunia balap. Hingga 2023, hanya 8 kuda jantan yang berhasil meraihnya. Terakhir adalah Contrail (2020), menyusul nama-nama legendaris seperti Deep Impact, Orfevre, dan Symboli Rudolf.
Jepang juga memiliki versi Triple Tiara untuk kuda betina, yang terdiri dari: Oka Shō (1.600 meter), Yūshun Himba / Japanese Oaks (2.400 meter), Shūka Shō (2.000 meter). Kuda-kuda betina seperti Apapane, Gentildonna, dan Almond Eye menempatkan diri dalam sejarah sebagai ratu balap sejati. Liberty Island menjadi peraih Triple Tiara terbaru pada tahun 2023.
Australia punya dua versi Triple Crown yang membuat tradisi mereka unik dan lebih kompetitif. Untuk kuda jantan berusia tiga tahun, Triple Crown terdiri dari: Randwick Guineas (1.600 meter), Rosehill Guineas (2.000 meter), Australian Derby (2.400 meter).
Tiga balapan ini dihelat dalam musim gugur, dengan jeda yang ketat dan jarak yang terus meningkat. Tak banyak yang sanggup menaklukkannya. Dua nama besar yang berhasil adalah Octagonal (1996) dan It’s A Dundeel (2013).
Sementara itu, Triple Crown sprinter ditujukan untuk kuda spesialis jarak pendek: Lightning Stakes (1.000 meter), Newmarket Handicap (1.200 meter), TJ Smith Stakes (1.200 meter).
Karena persaingan ketat dan kualitas sprinter Australia yang merata, sangat jarang ada yang bisa menyapu bersih. Tapi jika bicara sprinter terbaik, Black Caviar tetap tak tertandingi: 25 kali menang tanpa pernah kalah, termasuk beberapa dari balapan tersebut.
Di Hong Kong, Triple Crown bukan hanya sulit, tapi nyaris mustahil. Hingga tahun 2025, hanya dua kuda yang berhasil menyapu bersih: River Verdon (1994) dan Voyage Bubble (2025).
Berbeda dari negara lain, Triple Crown Hong Kong terbuka untuk kuda pacu usia dewasa, bukan hanya tiga tahun. Tiga balapan yang harus dimenangkan adalah: Stewards’ Cup (1.600 meter), Citi Hong Kong Gold Cup (2.000 meter), Champions & Chater Cup (2.400 meter).
Kombinasi stamina, umur, dan konsistensi membuat gelar ini sangat langka dan dihormati. Tidak heran jika hanya dua nama berhasil mencatatkan sejarah dalam lebih dari tiga dekade.
Meski konsepnya serupa, tiga kemenangan dalam satu musim, Triple Crown di setiap negara punya warna dan tantangan tersendiri. Di Amerika, Inggris, dan Jepang, Triple Crown adalah arena khusus bagi kuda usia 3 tahun. Sementara di Hong Kong, usia tak lagi jadi batasan. Di Australia, bahkan sprinter pun diberi jalur menuju mahkota mereka sendiri.
Triple Crown Indonesia
Triple Crown di Indonesia, meski berbeda rute, namun semangatnya sama: tiga seri balapan berjenjang, yang masing-masing menuntut keunggulan berbeda. Seri I di bulan April (1.200 meter), Seri II di bulan Mei (1.600 meter), dan klimaksnya: Indonesia Derby di bulan Juli sejauh 2.000 meter.
Sepanjang sejarah PORDASI, baru dua kuda saja yang meraih gelar Triple Crown, yaitu kuda Manik Trisula pada 2002 dan kuda Djohar Manik pada 2014. Dan sejak itu, satu dekade lebih, mahkota itu hanya indah dikenang, namun sulit diulang.
Sejarah mencatat setidaknya tujuh kuda yang nyaris menyentuh Triple Crown namun gagal. Ada yang gagal di leg terakhir seperti King Master (2006), King Runny Star (2015), Nara Asmara (2016) dan Queen Thalassa (2019).
Ada juga yang menang di 2 laga terakhir namun sayangnya gagal di leg pertama seperti Pesona Nagari (2008) dan Bintang Maja (2023). Sementara Lady Aria (2018) memenangkan leg pertama dan Derby, tapi hanya mampu finis kedua di leg kedua.
"Dari situ kita lihat, begitu sulit meraih Triple Crown Indonesia," ujar Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Ir. H. Munawir.
Triple Crown, sambung Munawair, menuntut daya tahan luar biasa kuda, konsistensi tak tergoyahkan, strategi cermat, dan kesiapan menghadapi tantangan cuaca, cedera, bahkan fluktuasi psikologis seekor kuda.
Munawir menjelaskan Triple Crown Indonesia dirancang menyesuaikan karakter dan daya tahan kuda lokal. Derby tidak dibuat 2.400 meter seperti luar negeri agar tidak membebani atau mencederai kuda.
"Realistis saja. Karena kuda-kuda di sini belum kuat jaraknya sepanjang itu," ucap Munawir.
Adapun kriteria peserta Triple Crown Indonesia sama dengan negara lain kebanyakan, yakni kuda umur 3 tahun. "Artinya seekor kuda hanya punya satu kali peluang seumur hidup untuk menjadi juara Triple Crown," imbuhnya.
Di Ambang Pintu Sejarah Baru
Kini olahraga pacuan kuda di Indonesia ada di ambang pintu terciptanya sejarah baru Triple Crown.
Setelah Indonesia’s Horse Racing (IHR)–Triple Crown Serie 1 pada April dan IHR–Triple Crown Serie 2 pada Mei lalu, rangkaian perebutan gelar Triple Crown 2025 di Indonesia tinggal menyisakan satu lagi kejuaraan yaitu IHR–Kejurnas Serie 1 Indonesia Derby atau IHR–Indonesia Derby pada 27 Juli mendatang.
Kuda King Argentine yang telah memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR–Triple Crown Serie 1 dan IHR–Triple Crown Serie 2 lalu, menghidupkan peluang menjadi kuda ketiga peraih gelar Triple Crown di Indonesia jika bisa memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR-Indonesia Derby. Selangkah lagi, dan kita berharap dapat melihat terukirnya sejarah baru di Indonesia.
Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan. Ia adalah ujian kesempurnaan tentang ketangguhan fisik, kecepatan yang konsisten, strategi matang, dan keberuntungan yang berpihak.
Banyak yang mencoba, hanya sedikit yang berhasil –sejarah di seluruh dunia telah membuktikan. Kini, Indonesia menanti apakah 27 Juli nanti mahkota itu akan kembali menemukan tuannya.