Keberlanjutan Jadi Strategi Utama Perusahaan Indonesia untuk Hadapi Tantangan Ekonomi
KABARINDO, SURABAYA – Schneider Electric mengumumkan hasil survei tahunan Green Impact Gap yang mengungkap bahwa para pemimpin perusahaan di Indonesia semakin memandang keberlanjutan sebagai penggerak pertumbuhan dan peningkatan daya saing, serta menyadari bahwa ketidakpastian ekonomi dan geopolitik masih menjadi hambatan dalam meningkatkan investasi pada inisiatif keberlanjutan.
Memasuki tahun ketiga, survei Schneider Electric Green Impact Gap dilakukan terhadap 4.500 pemimpin bisnis di 9 negara di Asia: Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand dan Vietnam.
Tahun 2025 merupakan salah satu tahun dengan dinamika perubahan yang tinggi. Sebanyak 32% CEO di Indonesia menyatakan bahwa perusahaan mereka menerapkan agenda keberlanjutan untuk memperkuat ketahanan terhadap disrupsi yang terjadi, naik dari 23% pada 2023 ketika survei ini pertama kali dilakukan. Selain itu, 43% CEO menyatakan bahwa keberlanjutan meningkatkan citra dan reputasi perusahaan (naik dari 25% pada 2023), dan 49% memprioritaskan agenda keberlanjutan untuk mendorong efisiensi biaya (naik dari 37% pada 2023).
Sebanyak 51% CEO juga menilai keberlanjutan dapat menciptakan peluang bisnis. Hal ini konsisten dengan hasil pada 2023. Angka ini menunjukkan perubahan pandangan bahwa keberlanjutan kini bukan lagi sebagai agenda pelengkap, melainkan bagian inti dari strategi bisnis untuk menghadapi dinamika pasar.
Sementara ketidakpastian ekonomi, regulasi dan kebijakan masih menjadi penghambat utama investasi keberlanjutan di Indonesia. Hambatan seperti minimnya insentif (turun 7 poin menjadi 33%), kurangnya data pasar (turun 5 poin menjadi 21%) serta hambatan birokrasi (turun 15 poin menjadi 36%), mengalami penurunan signifikan sejak 2023. Hal ini menandakan iklim investasi keberlanjutan di Indonesia semakin kondusif bagi pelaku usaha.
AI buka peluang efisiensi biaya dan energi
Teknologi digital seperti kecerdasan buatan (AI) semakin terbukti membantu perusahaan di Indonesia dalam mengelola risiko finansial dan konsumsi energi. Saat ini, hampir separo perusahaan telah memanfaatkan solusi berbasis AI untuk mencapai target keberlanjutan. Sebanyak 37% perusahaan menggunakan AI untuk mengoptimalkan proses dan pemanfaatan sumber daya, menjadikannya sebagai teknologi digital yang paling banyak diterapkan untuk keberlanjutan. Angka ini melonjak signifikan setelah pada 2024 menempati posisi keempat.
Perusahaan Indonesia menilai bahwa manfaat terbesar dari penerapan AI untuk keberlanjutan terletak pada otomatisasi pengumpulan dan pelaporan data (49%), optimasi konsumsi energi (43%), serta dukungan untuk desain dan pengembangan produk (47%). Pemanfaatan AI untuk optimasi energi ini secara langsung menjawab risiko energi yang terus berulang, di mana hampir 45% perusahaan di Indonesia masih menyebut bahwa fluktuasi harga energi sebagai risiko utama. Hal ini masih menjadi sebuah tren yang konsisten sejak 2023 di seluruh negara yang disurvei.
Pusat data krusial dalam mendorong inovasi berbasis keberlanjutan
Dari seluruh sektor, pelaku industri pusat data menjadi yang paling banyak menyebut inovasi dan daya saing sebagai pendorong utama agenda keberlanjutan, dengan 51% responden menunjukkan hal tersebut, naik dari tahun sebelumnya di 48%. Selain itu, 65% menyatakan investasi pada inovasi dan teknologi menjadi kebutuhan mendesak untuk menghadapi lonjakan permintaan daya komputasi di Indonesia, sekaligus memastikan operasional yang lebih efisien dan rendah emisi.
Di tengah meningkatnya diskusi global mengenai kebutuhan energi untuk AI, sebanyak 37% pemimpin bisnis di Indonesia telah menerapkan kebijakan green IT untuk menurunkan jejak karbon dari proses komputasi dan penyimpanan data. Pada saat yang sama, hambatan dekarbonisasi terus menurun, termasuk berkurangnya laporan mengenai minimnya alternatif energi bersih (26%, turun dari 35% pada 2023), kurangnya sumber daya pendukung (21%, turun dari 26%), imaturitas teknologi energi bersih (33%, turun dari 45%), serta hambatan regulasi (31%, turun dari 41%). Perkembangan ini menunjukkan iklim yang semakin kondusif bagi percepatan transformasi keberlanjutan di berbagai sektor.
Investasi tetap stabil di tengah dinamika ekonomi
Dengan semakin jelasnya kontribusi keberlanjutan terhadap kinerja bisnis, rencana investasi perusahaan Indonesia tetap stabil, dengan 40% di antaranya berencana mengalokasikan sedikitnya 1 juta dollar AS untuk inisiatif keberlanjutan dalam dua tahun ke depan. Meski demikian, sejumlah hambatan masih membayangi, terutama ketidakpastian ekonomi (49%), ketidakpastian kebijakan dan regulasi (43%), serta ketidakstabilan geopolitik (39%), yang menjadi faktor utama dalam pertimbangan investasi sektor swasta.
“Perusahaan di Indonesia menjadikan keberlanjutan sebagai langkah strategis untuk terus bertumbuh di tengah situasi bisnis yang penuh dinamika, Dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan di kawasan ini, para pelaku bisnis bergerak lebih awal memanfaatkan digitalisasi dan AI untuk meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi risiko dan menciptakan nilai jangka Panjang,” ujar Martin Setiawan, President Director Schneider Electric Indonesia & Timor Leste.
Kesenjangan antara ambisi dan implementasi nyata masih terjadi
Walaupun komitmen perusahaan Indonesia terhadap keberlanjutan terus menguat, survei ini juga menunjukkan adanya ‘Green Impact Gap’, antara target keberlanjutan dan aksi nyata untuk mencapainya. Tahun ini, 97% perusahaan di Indonesia memiliki target keberlanjutan, namun kurang dari separo yang telah mengambil langkah komprehensif untuk mencapainya. Kesenjangan ini konsisten berada di sekitar 48% sejak 2023.
Namun tahun 2025 dianggap sebagai titik penting menuju target iklim 2030. Perusahaan di Indonesia menunjukkan keyakinan tinggi bahwa mereka dapat mencapai atau bahkan melampaui target tersebut. Sebanyak 89% perusahaan merasa yakin terhadap target 2030, dan 23% diantaranya mengaku sudah berada tiga tahun lebih cepat dari jadwal. Perusahaan yang targetnya telah diverifikasi oleh pihak ketiga menunjukkan tingkat keyakinan yang lebih kuat, dengan 44% menyatakan sudah tiga tahun lebih cepat dari rencana.
Sementara itu, perusahaan yang membuat komitmen keberlanjutan secara umum namun tidak melaporkan progresnya secara terbuka justru paling banyak yang berpotensi tidak mampu mencapai target pada 2030 yaitu 15%. Situasi ini menegaskan bahwa akuntabilitas publik dan verifikasi independen berperan penting dalam keseriusan dan keakuratan pelaporan keberlanjutan.
Foto: istimewa





