Pahlawan Nasional untuk sang Pendidik Anak ditulis oleh Seto Mulyadi (Ketua Umum LPAI, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma&Pembina KAMI)
Jakarta. Kabarindo- HARI Pahlawan baru saja kita peringati. Izinkan saya mengusulkan satu nama lagi yang patut dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Tahun lalu saya ajukan nama Ibu Soed. Hari ini ingin saya dorong ke muka figur seorang lelaki yang luar biasa.
Memerlukan banyak catatan untuk mendeskripsikan satu per satu jasa tokoh ini. Kelak, bila Pemerintah (Kementerian Sosial) sepakat ingin mendaulat sosok pahlawan nasional dari kancah pendidikan anak, lalu membahasnya dalam seminar, bila diberi kesempatan, saya akan memaparkannya satu per satu.
Mengacu kriteria pahlawan nasional yang ditetapkan Kementerian Sosial (Kemensos), mereka yang berpeluang paling besar untuk disemat gelar pahlawan nasional ialah orang-orang dengan riwayat keterlibatan yang tinggi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nah, satu nama yang saya ingin ajukan ialah sesuai dengan kriteria itu. Namun, yang membuat sosok ini menjadi sangat istimewa justru karena pengabdian nyatanya bukan sekadar mengusir penjajah, melainkan juga upaya menaikkan kasta anak-anak Indonesia hingga memperoleh ruang khusus dan perhatian ekstra dalam kehidupan nasional kita.
Sangat banyak orang yang memiliki kiprah besar dalam dunia pendidikan anak di Tanah Air, Pak Kasur salah satunya. Nama aslinya ialah Soerjono. Di kalangan kepanduan, sapaan lazimnya ialah 'Kak'. Berhubung Soerjono juga aktif di kepanduan, jadilah ia disapa dengan 'Kak Soer'. Dalam perjalanannya, Kak Soer ternyata justru menjadi nama tersendiri, yaitu 'Kasur'. Sejak itulah Soerjono diberikan nama baru; Pak Kasur.
Pak Kasur cemerlang dalam menciptakan keceriaan dari satu panggung ke panggung lain. Dari RRI sampai ke TVRI, beliau juga memiliki program tetap. Taman Indria, salah satu namanya. Kemudian, acara ini diwariskan kepada istri Pak Kasur, yaitu Bu Kasur alias Sandiah.
Kisah cinta mereka mengingatkan saya pada lagu Aryati. Soerjono ikut memanggul senjata semasa revolusi fisik. Di tengah kecamuk perang, Soerjono sempat terpikat pada Sandiah. Kebetulan Sandiah saat itu juga aktif sebagai anggota palang merah. Di situlah video klip Aryati tayang di benak saya. "Ketika lukaku terluka parah, selendang sutramu turut berjasa...," demikian potongan lirik lagu karya Ismail Marzuki itu. Betul, itu memang sebatas imajinasi saya belaka. Imajinasi hiperbola karena selama saya dekat dengan Pak Kasur, tak pernah beliau menceritakan pengalamannya terluka di medan laga. Justru Pak Kasur bercerita, bunyi letusan bom kalah merdu jika dibandingkan dengan nada-nada cintanya. Asap mesiu justru bagaikan pupuk penyubur rindu.
Meski tak dikemas dalam bahasa ilmiah, Pak Kasur sesungguhnya mempraktikkan teori pendidikan yang hari ini dikenal sebagai pendekatan multiinderawi (multisensori). Saat mengajarkan anak-anak tentang kata keterangan tempat, misalnya, Pak Kasur sampai menjinjing seekor kucing ke dalam kelas sekadar untuk memastikan bahwa siswa paham akan kalimat 'kucing duduk di bawah meja'.
Bagi saya selaku 'murid', yang dilakukan 'guru' saya itu bukan sebatas mengajarkan tentang alat peraga, melainkan--lebih mendalam lagi--memperagakan sebongkah antusiasme dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak-anak.
Untuk memastikan bahwa filosofi dan metode pengajarannya bisa diterapkan sempurna, Pak Kasur (tentu bersama Bu Kasur) mendirikan taman kanak-kanak (TK). TK pertamanya didirikan pada 1968 di rumahnya sendiri, sekitar Jalan Agus Salim, Jakarta.
Jadi titik temu
Pak Kasur memiliki alasan tersendiri mengapa ia memilih menjadikan rumahnya sebagai sekolah. Menurut Pak Kasur Pemilihan rumah sebagai lokasi sekolah merupakan karena tidak ada tempat sehangat rumah dan tidak ada guru segenius ayah-bunda. Begitu ibaratnya.
Saat itu Pak Kasur sebatas membiarkan filosofi dan metodenya dalam format implisit (tacit knowledge). Baru belakangan, berpuluh tahun kemudian, para pendidik mulai memperkenalkan istilah sekolah rumah (home schooling). Eksternalisasi atas pengetahuan implisit Pak Kasur itu pun kemudian juga saya praktikkan dengan mendirikan home schooling bagi anak-anak saya sendiri, dan juga bagi anak-anak yang lain.
Sekolah rumah sekaligus merupakan titik temu atas dua sumbu tentang pendidikan, yakni antara pendidikan sebagai penyekolahan dan pendidikan sebagai pengajaran. Kalangan pertama memandang bahwa agar terdidik, anak-anak harus bersekolah (menjadi siswa sekolah).
Yang menyimpang ialah munculnya anggapan bahwa tolok ukur anak terdidik ialah ijazah. Ijazah tak pelak menjadi lambang prestise tertentu.
Kalangan kedua tidak dipusingkan oleh kemutlakan sekolah sebagai sebuah sarana fisik. Sekolah bisa diselenggarakan di mana pun karena esensi sekolah merupakan pengajaran. Ijazah tak selalu paralel dengan perbendaharaan ilmu pengetahuan di kepala anak.
Anak-anak bisa pintar, bahkan 'hanya' dengan menempuh proses pendidikan di tempat yang paling mereka sukai (rumah) dan guru pilihan yang tak lain orangtua mereka sendiri.
Sekolah rumah mempertemukan kedua pemikiran dan kerja pendidikan tersebut. Anak-anak bisa menjadi pintar di zona nyaman mereka dengan materi yang terstandardisasi. Orangtua pun pada saat yang sama naik kelas, dari pemberi kasih sayang afektif ke pemberi kasih sayang kognitif. Ayah bunda menjelma sebagai guru kehidupan sekaligus guru besar.
Pak Kasur suatu ketika pernah mengeluhkan adanya orangtua yang terlalu mendominasi kehidupan anak-anak mereka. Mereka itu seolah belum teryakinkan oleh hukum bahwa alam sesungguhnya menyediakan tapak-tapak pematangan diri yang dapat dilalui anak secara mandiri. Ruang kebebasan itu tidak semestinya terlalu direcoki oleh pengasuhan ataupun pengajaran yang terlalu mendikte. Dalam terminologi psikologi masa kini, kepemimpinan tidak tunggal, bukan hanya telling. Orangtua patut memerankan selling, facilitating, bahkan delegating.
Betapa pun keluhan itu disampaikan Pak Kasur sekian dasawarsa silam, tetapi praktik--sebutlah--anak dikarbit sedemikian rupa masih sering saya jumpai saat ini. Saya pernah menerima sekumpulan anak TK yang eksplisit menyebut 'perdamaian' dan 'keadilan' dalam pertanyaan mereka. Ketika saya tanyakan kembali apakah itu pertanyaan mereka atau pertanyaan guru mereka, seluruh siswa TK itu menjawab tanpa beban, 'dari ibu guru.'
Pada satu sisi, saya mencoba berempati bahwa guru TK tersebut mungkin tengah membangun karakter murid-muridnya. Pada sisi lain, boleh jadi ini ilustrasi nyata tentang kebenaran 'teori' Pak Kasur bahwa orangtua (termasuk guru) belum sungguh-sungguh membaca alam tentang bagaimana anak-anak hidup dengan hukum mereka masing-masing sesuai taraf perkembangan yang mereka lewati. Bagi orang yang tahu betul rasa pedih akibat penjajahan, esensi yang ingin dilontarkan Pak Kasur ialah pendidikan yang membebaskan dan pengasuhan yang memerdekakan.
Atas segala sumbangsih dan keceriaan yang telah Pak Kasur berikan, sungguh patut kiranya bila negeri ini menambahkan satu nama lagi ke dalam daftar putra terbaiknya. Soerjono alias Kak Soer alias Pak Kasur ialah orang itu.
Semoga.
Artikel ini telah dimuat oleh MIcom yang diberitakan ulang untuk Anda semua.....