KABARINDO, JAKARTA - Juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar - Mahfud, Tama S Langkun menganggap putusan Mahkamah Konstitusi soal kepala daerah bisa ikut berkontestasi pilpres meskipun belum berusia 40 tahun tidak merepresentasikan anak muda. Sebab dalam amar putusan itu tidak menyebutkan putusan itu di khusus untuk anak muda.
"Kami juga tidak menangkap soal asumsi bahwa putus MK hari ini adalah untuk memberikan kesempatan pada anak muda saya tanya pada putusan tersebut apalah ada dalam amar putusan yang bilang bahwa itu buat anak muda. Enggak ada," ucap Tama di media center TPN Ganjar Mahfud, Jakarta Pusat, Senin (23/10/2023).
"Jadi saya terus terang melihat kalau hari ini ada yang membangun persepsi atau opini bahwa putus ini adalah untuk menjaga soal anak muda enggak ada sama sekali," sambungnya.
Selain itu dia juga tidak melihat legal standing dalam gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re A. Padahal menurut MK akan melakukan verifikasi yang cukup ketat berkaitan dengan legal standing.
"Nah dalam hal ini di putusan 90 yg jadi rujukan putusan hari ini itu gak terlihat (legal standing)," katanya.
Bahkan Tama juga merasa hal yang sama, seperti hakim MK, Saldi Isra soal keanehan putusan tersebut yang membuat ikut bingung.
"Saya mengambil bahasa yang disampaikan oleh prof Saldi Isra dalam dissenting oppinion nya dia mengatakan bahwa ‘putusan tersebut memang aneh, anehnya banyak hal'," ucap Tama.
Sebelumnya, Saldi mengaku bingung dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut. "Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," ucap Saldi membacakan perbedaan pendapatnya (dissenting oppinion) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Saya mengambil bahasa yang disampaikan oleh prof Saldi Isra dalam dissenting opinion nya dia mengatakan bahwa ‘putusan tersebut memang aneh, anehnya banyak hal’," katanya.
Menurut Saldi, dirinya baru kali ini merasakan keanehan yang luar biasa dan jauh dari nalar manusia sejak menjadi hakim konstitusi pada 11 April 2017. Sebab, MK bisa berubah pikiran dalam sekejap ketika menangani perkara.
"Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ungkapnya.
Padahal, lanjut Saldi, MK telah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Hal itu ditegaskan pada Putusan MK Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023 soal batas usia capres-cawapres.
"Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari," jelasnya.
Saldi mengatakan, perubahan demikian tidak hanya sekadar mengesampingkan putusan sebelumnya. Namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.
"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo," katanya.