KABARINDO, JAKARTA - Media massa menjadi salah instrumen penting yang bisa membantu pemerintah dalam penanggulangan terorisme. Pasalnya, media massa bisa berperan dalam deteksi dini dan memperkuat daya tangkal masyarakat dari penyebaran ideologi radikal terorisme.
“Kita sadar betapa penting media dalam memberikan opini kepada publik yang akurat dan berimbang. Media massa memiliki peran memberi pemahaman yang benar dan tepat mengenai isu terorisme kepada masyarakat,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penangggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) Prof. Dr. Irfan Idris, MA, saat membuka Forum Group Discussion (FGD) Peran Media Dalam Pencegahan Paham Radikal Terorisme di Jakarta, Selasa (19/3/2024).
“Kami berharap kegiatan ini akan memperkuat kerjasama antara BNPT dengan pers dalam pencegahan tindak pidana terorisme,” imbuh Irfan.
Ia menguraikan, bahwa banyak sekali modus dan pola yuang dilakukan oleh kelompok radikal terorisme, baik secara terbuka maupun tertutup. Metamorfosa dan transformasi gerakan radikal ini terus berubah dalam bentuk organisasi dan pola gerakannya.
“Ada yang bergerak dengan kamuflase dakwah seperti Khilafatul Muslimin (KM) dengan mempolitisasi dan mengideologisasi agama untuk mengganti dasar negara,” ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, ada pula modus donasi kemanusiaan dan kotak amal seperti yang sudah terendus aparat penegak hukum. Pada intinya semua pola dan modus ini bertujuan untuk membangun kekuatan politik dalam rangka membuat perubahan secara drastis. Dan itu jelas mengganggu kedaulatan negara dan keamanan masyarakat.
Lebih lanjut, Prof Irfan mengatakan, problem kebangsaan berupa intoleransi, radikalisme, dan terorisme adalah problem yang cukup kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara parsial dan sektoral. Karena itulah, upaya penanggulangan terorisme harus dibangun dengan kekuatan besama dengan konsep Pentahelix dengan melibatkan pemerintah, komunitas, akademisi, pengusaha, dan media.
.
“Pertemuan kali adalah salah satu bentuk sinergi pemerintah dalam hal ini BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme dengan kalangan media. Pers harus bisa bersinergi membangun deteksi dini dan daya tangkal masyarakat melalui melalui pemberitaan yang akurat, inspiratif, dan bertanggungjawab,” papar Guru Besar UIN Alauddin Makassar ini.
Irfan menjelaskan, tahun 2023 ini tidak ada serangan teroris di Indonesia atau zero terrorism attack. Kendati demikian, BNPT tidak melakukan inovasi penanggulangan terorisme dengan mencanangkan tujuh program prioritas Ketujuh program tersebut diantaranya yaitu pemberdayaan perempuan, anak dan remaja, pembentukan Desa Siap Siaga-Desa Damai, pembentukan Sekolah Damai, pembentukan Kampus Kebangsaan, pemenuhan hak dan pemberdayaan penyintas serta keluarga kemudian terkait reintegrasi dan reedukasi mitra deradikalisasi serta keluarga dan yang terakhir mengenai asesmen pegawai dengan tugas resiko tinggi.
“Program-program ini dapat membangun public awareness dan public engagement, dan multistakeholder collaboration,” terangnya.
FGD itu juga menghadirkan dua narasumber yaitu pengamat terorisme Irjen (purn) Hamli, ME, dan Wakil Ketua Dewan Pers M Agung Dharmajaya. Dalam kesempatan itu, Hamli memaparkan peta jaringan terorisme dari hulu sampai ke hilir. Menurutnya, aksi terorisme di Indonesia yang marak sejak tahun 2000-an, diawali dengan masuknya ideologi transnasional di tahun 1980-an.
“Al Qaeda masuk melalui kombatan orang-orang indonesia yang dulu ikut berperang di Afghanistan seperti Ali Imron, Amrozi, Umar Patek, dan Abubakar Baasyir. Mereka inlah yang menjadi cikal bakal Jemaah Islamiyah (JI) di Indonesia,” katanya.
Selain Al Qaeda, kemudian juga masuk Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi, dan kemudian terakhir adalah Islamic State of Iraq dan Syria (ISIS).
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pers M Agung Dharmajaya mengatakan, Dewan Pers memiliki konsen besar ketika ada kejadian terorisme sebelum tahun 2015. Karena itulah, tahun 2015, Dewan Pers membuat pedoman peliputan aksi terorisme.
“Pers harus melihat aksi terorisme itu seperti apa dan bagaimana berita atau liputan. Soalnya kadang-kadang pers maksudnya baik tapi menyampaikan salah,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa persoalan terorisme menjadi tanggung jawab bersama dan bukan karena persoalan agama.
“Mari kita pikirkan masalah ini. Ini bukan sekadar 5W 1H saja tapi dampak pemberitaan yang kia tulis akan seperti apa,” tuturnya.
Ia berharap media massa atau pers bisa mawas diri dan terus memegang pedoman peliputan terorisme. Agung menyarankan agar FGD semacam ini digelar berkelanjutan.
“Kalau perlu dilakukan roadshow ke beberapa kota untuk menyampaikan program pencegahan yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi,” pungkasnya.