KABARINDO, JAKARTA- Besok 21 hingga 23 Februari 2022 Para perajin tahu dan tempe akan melakukan aksi mogok produksi. Perajin protes naiknya harga kedelai. Aksi ini pernah dilakukan juga pada awal 2021 atau setahun lalu.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, mogok kerja perajin tahu dan tempe karena harga kedelai naik ini selalu terjadi setiap tahun. Menurutnya, pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk mengendalikan harga kedelai.
"Ini seperti deJavu, apa yang terjadi dengan kedelai saat ini sama dengan di posisi Januari 2021," kata Bhima di Jakarta, Minggu (20/2).
Apalagi kenaikan harga kedelai juga dipicu inflasi yang terjadi di Amerika Serikat, negara sumber impor kedelai Indonesia. Tak hanya itu, beban biaya logistik selama pandemi jadi bengkak.
Faktor lainnya, pemanfaatan kedelai sebagai pengganti dari minyak sawit di luar negeri. Kenaikan harga sawit nyatanya berdampak pada beralihnya masyarakat di Amerika Serikat, Amerika Latin hingga Eropa mencari alternatif minyak nabati. Pilihan pun jatuh pada kedelai atau dikenal dengan istilah soybean oil.
"Mereka mencari alternatif soybean oil sebagai alternatif minyak nabati lainnya," kata dia.
Selain itu, saat ini permintaan kedelai dari China meningkat signifikan. Di China, kedelai tidak hanya dikonsumsi manusia, melainkan digunakan untuk pakan ternak.
"Jadi ini semuanya karena faktor eksternal yang bermain," katanya.
Di sisi lain, Indonesia sangat ketergantungan terhadap impor kedelai karena kebutuhannya yang tinggi. Sementara sampai saat ini belum ada upaya serius pemerintah untuk melakukan substitusi impor kedelai. Tujuannya untuk mendorong produksi kedelai nasional, peningkatan mutu dan kualitas, serta peningkatan dari jumlah produksi setiap tahunnya.
"Ini tidak ada upaya maksimal ke sana, jadi ketergantungan impor," kata dia.
Sehingga apa yang terjadi di negara penghasil kedelai, akan berdampak sangat signifikan terhadap keberlangsungan pengrajin tahu dan tempe di Tanah Air.
Sumber/Foto: Liputan6.com