TANGERANG,KABARINDO – Indonesia diakui sebagai negara di kawasan Asia Pasific yang paling maju dalam implementasi Carbon Capture Storage (CCS). Selain didukung oleh kondisi reservoir yang mumpuni, regulasi yang tersedia juga sudah siap. Untuk itu momentum pengembangan CCS ini harus dimanfaatkan.
Dannif Danusaputro, Direktur Keuangan dan Investasi PT Pertamina Hulu Energi (PHE), mengungkapkan Pertamina jadi pihak yang mengambil momentum tersebut. Agar proyek CCS masuk secara keekonomian maka skala proyeknya juga harus besar sehingga bisa sesuai secara keekonomian.
“Harus besar skala proyeknya untuk kita jadikan hub CCS. Biar masuk secara keekonomian jadi tidak tanggung-tanggung,” kata Dannif disela Plenary Session hari kedua IPA Convex 2025 bertemakan Accelerating Investment and Multiplier Effect witf CCS di ICE BSD, Rabu (21/5/2025).
Pertamina saat ini tengah menggarap proyek CCS skala besar bersama dengan ExxonMobil di cekungan Sunda Asri.
Dari sisi potensi, CCS di Indonesia memang terbilang besar. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Potensi Penyimpanan Karbon Nasional Tahun 2024 dalam rangka mendukung program Carbon Capture Storage (CCS). Potensinya sebesar 572 miliar ton CO2 pada saline aquifer, dan sebesar 4,85 miliar ton CO2 pada depleted oil and gas reservoir. Potensi penyimpanan yang besar tersebut akan cukup signifikan dalam mendukung target penurunan emisi jangka panjang.
Dannif menyatakan bahwa Indonesia tidak boleh tertinggal dari negara lain khususnya negara tetangga. "Scale sangat penting sebagai host kami mau menunjukkan ke tetangga kita, bahwa kami serius. Potensial ada di area kami. Negara tetangga juga serius membangun ekosistem. Fokus kami upstream transport dengan aman, menyiapkan storage dan sistem pipa. Kami memonitor bagaimana menangkap karbonnya," jelas Dannif.
Sementara itu, Egon van der Hoeven, Presiden Asia Pasific ExxonMobil Low Carbon Solutions, menyatakan Indonesia diberkati dengan kondisi geologi yang sangat sesuai untuk dijadikan storage karbon. Apalagi kapasitasnya juga besar-besar. Sekarang tinggal bagaimana elemen pendukungnya bekerja. Mulai dari regulasi hingga teknologi dan kesiapan pasar."Dukungan dari manufaktur dan ketersediaan low carbon data center," ujar Egon.
Belladonna Maulianda, Executive Director of Indonesia CCS Center (ICCSC), menjelaskan saat ini yang harus dikejar adalah kesepakatan dengan negara lain yang akan memanfaatkan storage di Indonesia. "Agreement dengan negara lain, dengan negara tetangga dibutuhkan untuk memulai inisiatif investasi," kata dia.
Menurut Belladonna, posisi Indonesia saat ini adalah pionir CCS khususnya di kawasan Asia Pasific. Sebelum negara lain menyusul Indonesia harus tetap jadi tujuan utama negara-negara yang memiliki emisi CO2 tinggi seperti Korea Selatan dan Jepang yang terus mencari lokasi untuk menyimpan emisi karbonnya.
"Indonesia pionir pengembangan CCS di region. Ada kerjasama dengan Singapura. Negara lain juga bergerak. Indonesia harus jaga momentum," tegas Belladonna.
Pada tahun 2024 lalu Indonesia dan Singapura telah menandatangani Letter of Intent (LOI) untuk bekerja sama dalam kegiatan CCS Cross Border. Dalam LOI tersebut, Indonesia dan Singapura menegaskan pentingnya CCS sebagai metode dekarbonisasi, dan potensi CCS untuk mendukung kegiatan industri yang berkelanjutan dan menciptakan peluang ekonomi baru.
Keith Tan, Sekretaris Deputi Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura, berharap bisa segera ada kelanjutan dari inisiasi kerja sama pemanfaatan CCS antara Indonesia dan Singapura. Menurut dia campur tangan pemerintah dalam skala besar memang masih diperlukan agar ekosistem CCS terbangun. "Kami menantikan melanjutkan kerjasama dengan Indonesia. Pemerintah harus turun tangan menurunkan risiko," ujar Keith.